Saya bukan pedagang, yang bisa mengerti dari pengalaman sendiri apa artinya daya beli masyarakat turun. Saya juga bukan analis ekonomi, yang bisa memberikan data bagaimana daya beli masyarakat itu memang betul-betul turun. Akan tetapi, saya punya koneksi orang-orang yang berhati mulia yang di tengah-tengah pergulatan survivalnya masih berusaha mempertahankan bisnisnya tidak lagi demi mendapatkan surplus, tetapi demi memberi makan kepada ratusan karyawan. Bisa jadi, bisnisnya ini kian hari kian mantab alias makan tabungan.
Anda boleh meragukan adanya orang yang tulus memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan. Alasannya pun bisa masuk akal: pemberian tulus itu hanya mungkin berasal dari surplus. Jika tidak, orang pun memberi dengan tetap mengharapkan imbalan, sekalipun imbalan itu berupa harapan akan hukum karma, entah di dunia sini atau dunia sana. Tentu, itu masuk akal; saya pun setuju.
Akan tetapi, itu bukan dalil untuk menyatakan bahwa tidak ada orang yang sungguh tulus memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan. Kasih ibu bagai sang surya bisa diragukan, tetapi itu tidak membuktikan bahwa tidak ada kasih ibu bagai sang surya. Keraguan itu hanya menunjukkan bahwa de facto hidup ini didominasi oleh ketidaktulusan, bahkan tanpa perlu melirik transaksi politik dalam pilpres atau pilkada. Bisa jadi, dominasi itu disebabkan oleh perangkat penata masyarakat yang memang tidak tulus, mengandalkan ordal, pemburu rente, dan sejenisnya.
Andai saja setiap aparatur negara itu seperti orang-orang berhati mulia yang di tengah pergumulannya untuk survive mengubah targetnya dari keuntungan pribadi atau keluarga kepada kesejahteraan lebih banyak orang, mungkin negeri ini sudah maju sejak Orde Baru lalu. Apa daya, yang terjadi mungkin sebaliknya: kesejahteraan lebih banyak orang jadi jargon untuk memperkokoh keuntungan pribadi atau keluarga. Tak mengherankan, gaji terus naik, kinerja tidak ikut naik.
Memang tidak gampang menghidupi kalimat terakhir dalam teks bacaan hari ini: kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.
Ya gak mungkinlah, Rom, mosok keluar belasan milyar untuk dapat posisi njuk adem ayem aja mikirin orang banyak?
Iya sih, memang susah menerima kenyataan bahwa hidup ini gratis karena hidup sudah sedemikian direduksi sebagai bisnis, gengsi, popularitas, jabatan, prestasi, dan lain sebagainya di luar pergumulan untuk mewujudkan Kerajaan Allah, yang nota bene tidak lain daripada keadilan sosial. Hidup yang direduksi ini, ironisnya, tidak membahagiakan, atau kebahagiaannya tidak sepenuh pengusaha yang mengalihkan targetnya tadi: dari menerima laba ke membagikan laba.
Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati untuk membangun kerajaan-Mu di sini. Amin.
SABTU ADVEN I
Peringatan Wajib St. Ambrosius
7 Desember 2024
Yes 30,19-21.23-26
Mat 9,35-10,1.6-8
Posting 2020: Rasul Nomor Berapa
Posting 2019: Pecut Sana Pecut Sini
Posting 2017: Move On Lagi
Posting 2015: Gunanya Jatuh Cinta
Posting 2014: Pintar Tanpa Cinta?
