Adakah kekristenan tanpa pewartaan Kabar Gembira yang notabenenya adalah Kerajaan Allah? Jika ada, itu seperti keislaman tanpa prinsip tauhid. Buyar semua. Kerennya ialah bahwa baik Kerajaan Allah maupun prinsip tauhid itu jelas menghubungkan Tuhan YME dan hidup konkret manusia melalui keadilan yang kemarin sudah saya singgung. Alhasil, jika Anda dan saya tidak bersikap adil, kita mengkhianati baik kekristenan maupun keislaman. Catatan kerasnya: kekristenan maupun keislaman di sini tak pernah merujuk pada kategori sosial-politik agama yang pasti mengotak-kotakkan orang (misalnya dengan 4C-nya: creed, code, cult, community), tetapi pada perkara kedalaman hasrat manusia pada sangkan paraning dumadi alias asal dan tujuan kemanusiaan itu sendiri.
Teks bacaan utama hari ini menyodorkan bagaimana keadilan itu bukan hanya perkara konsep, melainkan juga keterlibatan atas dasar bela rasa atau belas kasih. Jatuh kasihan pada mereka yang tertindas tidak membuat orang yang iba itu sebagai orang yang adil. Bahkan, menggelontorkan bantuan untuk mereka yang tertindas bukanlah jaminan bahwa tindakan itu berasal dari karakter orang yang adil. Begini karikaturnya: Anda bisa menciptakan penyakit sekaligus obatnya, Anda bisa juga membuka jasa keamanan sekaligus juga agen keonaran, Anda pun bisa menginjak-injak karyawan Anda dan memberikan profit bisnis Anda sebagai derma. Lebih parah lagi, Anda bisa merusak lingkungan atau SDA dan bagi-bagi Coorporate Social Responsibility dengan membangun tempat ibadat dan bansos.
Bela rasa, dengan demikian, melampaui sentimen ababil yang moody karena ditentukan oleh situasi, tetapi opsi fundamental yang melihat gambar secara menyeluruh. Ini bukan soal bahwa Anda tidak percaya pada ketulusan pemberi derma, melainkan melihatnya dalam konteks yang lebih utuh, yang menyokong martabat manusia dan keutuhan ciptaan. Bukankah jamak anak gadis dan keluarganya tertipu mentah-mentah oleh kesopanan cowoknya? Bukankah mungkin juga pengampu lembaga hukum memakai kesopanan untuk mengambil keputusan? Di situ ada penjungkirbalikan tolok ukur sehingga orang keliru mengambil keputusan.
Saya tidak berpolemik mengenai STY. Saya pakai sebagai judul karena huruf-huruf itulah yang tertera di pakaian saya. Akan tetapi, memang selepas PHK terhadap STY, reaksi spontan saya sejalan dengan mandat Guru dari Nazareth kepada murid-muridnya: jangan banyak berteori, kalianlah yang harus memberi mereka makan! Tidak ada keterlibatan tanpa komitmen, dan persis yang terakhir inilah saya pikir absen dari kebanyakan cara kita mengambil keputusan dan tindakan: habis manis sepah dibuang. Tentu, dalam kasus STY, keadilan individual bisa dipertanggungjawabkan: ia mendapat pesangon sesuai dengan kontraknya. Itu tidak jauh dari fenomena kawin-cerai kawin-cerai.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk terlibat dalam proses jatuh bangun menegakkan keadilan cinta-Mu. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
Selasa, 7 Januari 2025
Posting 2021: What a Relief!
Posting 2019: Mari Kenduri
Posting 2016: Rebutan Hidayah
Posting 2015: Siapa Bilang Allah Mahakuasa?
