Entah dari mana dan bagaimana pagar muncul, juga dalam hidup dipisahkanlah materi dari roh dan diceraikanlah altar dari latar atau pasar dan natural dari supranatural. Konon, itu karena cara berpikir modern ala cogito [kojito] ergo sum René Descartes, yang berujung pada STEM (sains, teknologi, enjinering, matematika) berwujud kemajuan teknologi sejauh ini. Ini sudah saya singgung dalam posting Teori (Ke)Pikiran, yang bisa membantu atau mengganggu pikiran Anda.
Saya mau mencontohkannya dalam lingkungan Gereja Katolik dengan mindset yang dikenal sebagai klerikalisme atau lebih persisnya ialah pastorsentrisme. Apa-apa saja bergantung pada pastor karena pastor dianggap sebagai wakil Allah di dunia ini (sejak kapan ada Dewan Perwakilan Allah?). Memang, pendidikan para pastor sudah sejak zaman jebot dipisahkan dari dinamika masyarakat biasa. Tambah lagi, sebelum menerima tahbisan, para pastor ini mesti menjanjikan tiga hal: hidup miskin, wadat, dan taat kepada uskup. Kurang spesial apa jal para pastor ini. Hidup YOLO saja mesti menjalani YONO!
Sebagian dari mereka ini adalah biarawan, yang cara hidupnya lebih ketat. Mereka tidak hanya berjanji, tetapi juga berkaul. Bedanya apa? Ingkar janji cuma dicemberuti atau jadi pergunjingan, tetapi melanggar kaul punya konsekuensi institusional. Akan tetapi, entah janji atau kaul, cara hidup para pastor ini memang tereksklusi dari hidup orang biasa dengan segala privilese. Asumsinya: hidup mereka didedikasikan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk memuliakan diri atau keluarga mereka sendiri.
Celakanya, kebanyakan orang yang melihatnya dari luar lama-kelamaan memandang bahwa untuk jadi pastor atau biarawan seperti itu, dibutuhkan kemampuan khusus untuk menghayati janji atau kaul. Iya sih, tapi jika diletakkan dalam konteks panggilan mengikuti Yesus, kemampuan khusus itu tidak datang dari langit untuk memagari hidup orang dari hiruk pikuk dunia ini. Itu hidup biasa saja.
Narasi teks bacaan utama hari ini menunjukkan contoh orang-orang muda yang meninggalkan segala sesuatu untuk bergabung dengan gerakan yang dimotori Yesus dari Nazareth. Mereka berasal dari keluarga mapan meskipun bukan dari kelompok oligarki. Salah satu indikatornya, rumah keluarga Petrus di Kapernaum menjadi pusat kegiatan mereka. Petrus sendiri menikah, punya ibu mertua dan mungkin anak juga. Tambah lagi, saudaranya juga ikut bergabung dalam gerakan ini.
Kenyataan ini tidak mengindikasikan kolusi atau nepotisme karena jelas gerakan mereka tidak ditujukan untuk melanggengkan kemapanan mereka sendiri. Sebaliknya, situasi itu menunjukkan bahwa gerakan Yesus menuntut pilihan yang bebannya ditanggung juga oleh keluarga. Meskipun dalam teks bacaan kerap dikatakan para murid meninggalkan segala-galanya, mereka tidak terputus dari keluarga mereka. Saya kira banyak orang tua mengira bahwa jika anak mereka jadi pastor, mereka ditinggal, kehilangan anak mereka. Pada kenyataannya, orang tua yang anaknya jadi pastor malah terharu karena di masa tua mereka, yang lebih memperhatikan mereka justru anak yang jadi pastor ini. Masuk akal, karena mereka tak punya anak istri dengan segala kompleksitasnya.
Akhirnya, bisa dimengerti, gerakan Yesus itu ada ongkosnya dan ongkos itu bukan cuma perkara cuan. Dalam kelakar, yang kerap menyimbolkan kenyataan, saya bisa menegaskan bahwa saya berkaul kemiskinan, tetapi yang sungguh hidup miskin adalah orang tua dan saudara-saudara saya sendiri karena tak ada gaji saya yang mengalir untuk menopang hidup mereka. Saya kira, itu salah satu ongkos gerakan yang dimotori Yesus: orang tak bisa mengandalkan diri sendiri tetapi memercayakan hidup pada solidaritas sosial dan dengan gerakan itulah warta gembira dinyatakan, bukan dengan pastorsentrisme atau klerikalisme.
Tuhan, mohon rahmat untuk bertekun dalam gerakan solidaritas kemuridan-Mu. Amin.
SENIN BIASA I C/1
Senin, 13 Januari 2025
Posting 2021: Perjumpaan
Posting 2019: Hi, how asu today?
Posting 2015: We Are Instruments
