Hi, how asu today?

Saya harap Anda tidak tersinggung dengan sapaan judul posting ini, karena memang itu tidak untuk menyapa Anda. Salah satu kirik (Jawa, bacanya kiré’, artinya anjing) di rumah saya pulang minggu lalu setelah beberapa minggu tugas di luar. Saya baru tahu ketika hendak berangkat jogging pagi-pagi dan saat bertemu pandang, salam itulah yang saya sampaikan padanya dan dia nyêngir alias meringis. Itu sudah cukup menghibur saya. Jadi, Anda tak perlu berburuk sangka bahwa sapaan itu adalah makian atau sindiran saya untuk politikus busuk yang mempermainkan, memperalat, memanipulasi, mengeksploitasi masyarakat bawah demi gelojoh kekuasaan mereka setelah sekian puluh tahun NKRI dijajah oleh bangsa sendiri. Untuk memakai kata itu sebagai makian, saya mesti minta izin pada kirik di rumah itu, dan tampaknya ia tak akan secara senang hati membiarkan namanya diturunkan derajatnya.

Kemarin berakhir masa Natal yang singkat dan hari ini mulai dengan masa biasa dengan teks mengenai panggilan murid-murid pertama Guru dari Nazareth. Taglinenya adalah Kerajaan Allah sudah dekat, bertobat dan percayalah pada warta gembira. Nah, omong-omong mengenai pertobatan ini, ada seseorang yang hidup sekian belas abad yang lalu yang berdoa begini,”Ya Allah, insyafkanlah aku, tapi jangan hari ini.”😂 Aneh tapi nyata. Konon itulah doa yang disampaikan oleh St. Augustinus, tapi saya tidak tahu persisnya kapan ia mendoakannya. Terkesan jenaka, tetapi itulah yang senyatanya terjadi dalam diri banyak orang beragama, bisa jadi termasuk mereka yang dijuluki pemuka agama.

Pertobatan bukan hal yang enak untuk dimakan, dan rekonsiliasi, dengan demikian, juga bukan perkara mengampuni dan selesai begitu saja. Persoalan tidak terletak pada yang mengampuni, melainkan pada yang diampuni.
Loh, Romo gimana sih, dulu bilangnya pengampunan itu lebih merupakan soal bagi pemberi ampunnya (karena pengampunan itu memerdekakan); kok sekarang bilang persoalannya ada pada pihak yang diampuni?
Betul, karena dari pihak yang diampuni pun dibutuhkan kapasitas untuk mengampuni dirinya sendiri. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia mendapatkan pengampunan?

Bingung, Mo.
Andaikan Anda berbuat salah terhadap orang lain dan orang lain sudah berkali-kali mengatakan ‘tak apa-apa’ dan Anda terus menerus minta maaf dan mungkin berusaha lebih banyak berbaik-baik pada orang lain itu, kapan Anda merasa mendapat pengampunan? Sampai Anda memaafkan diri Anda sendiri. #lahkokmalahnggladrahsampaipengampunansegala. Ya, habis memang pertobatan itu terhubung dengan pengampunan je.

Kembali ke pertobatan yang bukan makanan lezat tadi, kenapa orang ‘alergi’ terhadap pertobatan? Karena ada tahap gak enak yang mesti dilalui: mengakui kesalahan, ketidakberesan, kealpaan, dan sejenisnya. Tobat dan pengampunan ini bukan perkara remeh. Kalau Anda lihat gonjang-ganjing negeri ini dari perspektif kerohanian, jelaslah bahwa beberapa pihak menginginkan rekonsiliasi, tetapi tak mau menanggung syarat dan konsekuensi rekonsiliasi itu. Alih-alih mengakui atau declare kesalahan malah orang mencari tameng dan kompromi supaya dosa masa lalu pelan-pelan terlupakan seiring waktu berjalan.

Itu mengapa sejak awal saya katakan bahwa pengampunan tidak identik dengan melupakan kesalahan dan rekonsiliasi juga bukan soal balas dendam. Mengikuti Guru dari Nazareth memang mesti menghidupi pertobatan, tiada henti, tak kenal umur.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat hidup dalam on-going conversion. Amin.


SENIN BIASA I C/1
Senin, 14 Januari 2019

Ibr 1,1-6
Mrk 1,14-20

Posting Senin Biasa C/2 2016: Anda Mandul?
Posting Senin Biasa B/1 2015: We Are Instruments