Awas Gelap

Published by

on

Lanjutan kemarin, akidah agama yang berbeda-beda tak perlu saling dibenturkan karena proses pembuatannya beda-beda. Dengan begitu, akidah agama lain tak perlu dianggap sebagai ancaman. Bayangkan, bahkan terhadap satu peristiwa saja tafsirnya bisa bermacam-macam, gimana gak mau beda-beda pemahaman terhadap aneka peristiwa! Tak usah jauh-jauh, sementara para pengerubung kekuasaan berfoya-foya dengan aneka kebijakannya yang mungkin juga tak bijak, ada orang-orang lain yang bersepakat untuk memberi label “Indonesia Gelap” dan karenanya tak mengherankan ada sebagian orang yang membuat tagar #kaburajadulu itu. Roda berputar: terhadap tagar itu pun, ada sebagian pengerubung kekuasaan yang (mungkin) bercanda: ya kabur aja sono gak usah balik lagi!
Tahukah Anda konten candaan itu pernah terjadi di masa gelap bangsa ini dulu? Di sekitar tahun 1965 ada hijrah besar-besaran warga etnis Tionghoa ke Macau dan tempat-tempat lain, dan sebagian besar dari mereka memang tak kembali lagi ke sini meskipun mereka berbahasa Jawa, Betawi, dll!

Teks bacaan utama hari ini menunjukkan kenaifan para murid Yesus. Sekian lama mereka hidup bersama Yesus tetapi mereka tampak selalu gagal paham terhadap apa yang diajarkan guru mereka. Itu mengapa saya semakin lama semakin percaya bahwa Yesus ini bukan pertama-tama seorang guru agama atau guru spiritual yang dikelilingi oleh murid-murid setia yang menguasai ilmu-ilmu kerohanian gurunya. Anda bisa membandingkannya dengan fenomena modern yang menyodorkan aneka ajaran suci dan memiliki begitu banyak pengikut di sana sini. Sebagian di antaranya berujung tragis: bunuh diri massal.

Para murid Yesus itu lebih realistis dalam mengikuti guru mereka: ada yang kongkalikong dengan status quo, ada yang menyangkalnya, ada juga yang kabur (meskipun akhirnya kembali). Kalau Yesus itu mengajarkan murid-muridnya untuk mengikuti praktik keagamaan seperti yang populer dipraktikkan oleh kebanyakan orang saat itu, rasa-rasanya aneh jika mereka sampai gagal paham. Jadi, saya simpulkan, yang diajarkan Yesus ini pastilah berbeda dari praktik orang kebanyakan; dan itu menyinggung para pengerubung status quo alias hirarki kekuasaan. Itu mengapa keluarganya menganggap Yesus ini gak waras. Lawan-lawannya menuduhnya bersekongkol dengan setan. Murid-muridnya ya gagal paham: mengira bahwa Yesus menegur mereka karena perkara perut.

Yang diwaspadai Yesus adalah gangguan akidah yang justru berasal dari kelindan agama dan kuasa, dan keduanya ini bisa seperti ragi kaum Herodian yang meluluhkan siapa saja yang silau akan kuasa. Ragi itu tak hanya datang dari posisi mantan presiden atau menteri atau bupati dan sejenisnya, tetapi juga dari media iklan, opini publik, ideologi populer yang memuat konten iming-iming kuasa, dan tak melirik mereka yang menafsirkan hidup semacam “Indonesia Gelap” itu. Memang, status quo hanya bisa melihat masa depan cerah karena kuasanya menancap di mana-mana.

Tuhan, mohon kejernihan hati dan budi untuk mewaspadai ideologi korup dalam hidup kami bersama. Amin.


SELASA BIASA VI C/1
18 Februari 2025

Kej 6,5-8; 7,1.5-10
Mrk 8,14-21

Posting 2021: Service Over
Posting 2019: Daripada Galau

Posting 2017: Tuhan Saja Bertobat
Posting 2015: Hatinya Mana?

Previous Post
Next Post