Minggu lalu saya memberi pengantar tafsir dan saya mengajak teman-teman muda untuk sebisa mungkin menghindari eisegese atau eisegesis dalam menafsirkan teks. Tidak akan saya uraikan di sini (wong ya kalau kepo tinggal ketik kata-kata itu di internet), tetapi saya sajikan gambar yang muncul beberapa waktu lalu di media sosial. Reaksi Anda terhadap featured image hari ini bisa jadi contoh untuk melihat apakah Anda sedang membaca teks (yang dalam hal ini berupa gambar dan tulisan) atau sedang melakukan praktik eisegesis.
Orang yang membaca gambar itu sebagai ungkapan ajakan perang (karena teksnya sendiri menyatakan you pass the law, we start the war), tentu tidak keliru karena di situ tertera juga kata perang. Akan tetapi, jika kemudian Anda membaca teks itu sebagai pernyataan perang terhadap polisi atau ungkapan kebencian kepada polisi, Anda melakukan eisegesis; bisa jadi karena Anda polisi atau simpatisan polisi atau mendapat beasiswa dari polisi atau hal lainnya yan berhubungan dengan kepolisian. Itu semua unsur subjektif dalam diri Anda, yang Anda terapkan untuk membaca teks, tetapi teksnya sendiri Anda abaikan dan sibuk dengan unsur subjektif dalam diri Anda.
Boleh percaya, boleh tidak, kebanyakan orang, jika sudah berhadapan dengan teks suci, yang dia kerjakan adalah eisegesis. Tak mengherankan, khotbah di mimbar pun kebanyakan bernuansa nasihat-nasihat rohani yang indah dan betul semua, tetapi tidak selalu berangkat dari teks suci. Sepertinya pernah saya bilang, dengan begitu, orang tak perlu memberi nasihat rohani dari teks suci, ambil saja tulisan-tulisan di bokong truk yang inspiratif. Kitab Suci, tak akan relevan, apalagi di negeri yang bukunya diletakkan di atas kepala penjahat yang berikrar untuk menjadi pelayan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Semua terlihat hendak menjalankan amanah, tapi sejarah mencatat pergantian wajah penjarah.
Teks bacaan utama hari ini menyodorkan gambaran yang menarik dengan kata-kata yang terkesan garang dari penuturnya: kalau kamu gak tobat, kamu pun akan binasa dengan cara seperti mereka yang tertimpa musibah itu. Lalu dituturkannya perumpamaan seorang pemilik kebun anggur yang melihat pohon ara di kebunnya dan jebulnya setelah tiga tahun tak berbuah juga. Tebang ajalah! Begitu perintahnya, tetapi pengelola kebun anggur minta waktu tambahan untuk menggarapnya dengan harapan pohon ara itu kelak memberikan buah. Bagaimana mungkin si pemilik kebun anggur itu lebih ganas daripada pengelolanya ya?
Dengan melihat konteks bacaan itu dalam perseteruan antara Yesus dan pemuka agama Yahudi saat itu, bisa dimengerti bahwa paham Allah yang disodorkannya berbeda dari paham Allah pemuka agama Yahudi saat itu. Bahkan, nuansa garang itu juga muncul dalam pewartaan Yohanes Pembaptis: gak ada proses-prosesan lagi, kalau tak bertobat, kapak sudah siap memotong pohon yang mandul! Paham Allah yang dipegang Yesus tidak begitu: ini sosok Allah yang toh maharahim; juga tuntutan untuk bertobat tidak berasal dari hukuman yang menghantui orang beriman, tetapi harapan dan kepercayaan akan berharganya momen pertobatan itu. Jika itu tak dimanfaatkan, bisa jadi perang.
Tuhan, ajarilah kami untuk bertobat sebagai gerakan transformasi hidup bersama. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA III C/1
23 Maret 2025
Kel 3,1-8a.13-15
1Kor 10,1-6.10-12
Luk 13,1-9 bdk. posting 24 Oktober 2015: Awas Kabut Azab
Posting 2022: Extra Time
Posting 2019: Wajah Deadline
Posting 2016: Dua Model Keberdosaan
