Nurani

Published by

on

Saya punya senior yang dulu hobinya bermain golf. Saya tidak tahu apakah itu hobi muncul sejak kecil atau sejak ia ada di jajaran tinggi perusahaan besar negeri ini. Yang saya tahu, pada suatu hari di lapangan golf di pinggiran kota metropolitan, ia dihampiri oleh seseorang yang tiba-tiba saja menyelipkan amplop tebal ke dalam saku jaketnya dengan penjelasan mengenai isi amplop itu: uang untuk transpor, makan, dan lain-lain. Tentu saja, tidak ada tanda tangan di situ dan senior saya melongo sebentar sampai ketika ia mau mengambil amplop tebal itu ia tak punya waktu lagi untuk mengembalikan amplop itu kepada orang yang menyelipkannya ke saku jaket. Akan tetapi, juga kalau ia berikan amplop itu kepada orang lain, ia mungkin membantu orang lain, tetapi dirinya sudah tercatat sebagai penerima amplop tebal itu.

Kerennya ialah, ia berhasil mengidentifikasi siapa kiranya orang yang memberi amplop dengan menitipkannya kepada orang yang menguntitnya sampai ke lapangan golf itu. Di lain waktu, ia bertemu lagi dengan orang yang menitipkan amplop itu; bukan orang yang tidak dia kenal. Setelah bercengkerama dengan orang itu dan ia diantar pulang ke rumahnya, sambil memegang pintu mobil sebelum menutupnya, ia merogoh sakunya dan mengambil amplop tebal yang ia terima dari suruhan kenalannya itu, ia letakkan amplop itu di jok mobil belakang, di sebelah kenalannya, sambil berkata,”Kita tetap dapat berteman tanpa ini, Kawan.”

Sejak itu, ia dapat tidur nyenyak dan sampai usia sekarang pun, mendekati 70 tahun, ia masih sanggup bersepeda jarak jauh karena kesehatannya yang baik. Itulah juga pengalaman yang disebutnya sebagai pengalaman kebahagiaan: ketika ia mengambil keputusan sesuai dengan panggilan nuraninya. Ini bertolak belakang dengan pengalaman koleganya yang lain yang begitu akrab dengan aneka model suap atau pun gratifikasi: entah stroke, entah serangan jantung, atau penyakit lain yang muncul karena orang tak menggubris nurani. “Semua orang juga begitu” tidak masuk dalam kamus nurani senior saya ini.

Dalam keyakinan orang yang tunduk pada nurani, jalan Allah itu seperti kisah dalam teks bacaan pertama: cedera, luka, kegagalan, kesalahan, tak pernah berarti jalan buntu, tetapi memuat undangan untuk kembali ke jalur yang tepat, jalur yang memungkinkan orang mengandalkan kekuatan Allah di atas kemampuan individu.
Semoga Anda dan saya dapat tidur nyenyak karena mengikuti nurani. Amin.


KAMIS BIASA XIV C/1
10 Juli 2025

Kej 44,18-21.23b-29;45,1-5
Mat 10,7-15

Kamis Biasa XIV C/1 2019: Pusing Kurang Fokus
Kamis Biasa XIV A/1 2017: Sini Pergi 
Kamis Biasa XIV B/1 2015: Allah Tidak Eksklusif

Previous Post
Next Post