Islam, tak diragukan lagi, mengandaikan sikap submisif total kepada Allah, tetapi tidak kepada ketidakadilan sosial, korupsi, kebohongan, tindak kejahatan, yang ujung-ujungnya membuat mereka yang dicintai Allah tak kunjung dicintai oleh mereka yang sibuk dengan aneka tindak kejahatan tadi. Orang beriman, apa pun agamanya, tidak submisif kepada penindasan, bahkan meskipun punya jiwa besar dan rela berkorban. Jiwa besar dan rela berkorban ini justru modal mental untuk melawan penindasan.
Dari grup diskusi sebelah saya bisa mengerti betapa sekian lama kita hidup dalam kebohongan tentang ketahanan dan swasembada pangan lantaran jeritan petani terasa senyap ketika para pejabat bisa sumringah di ruang gelap, menanti giliran komisi kuota impor. Dulu sawah jadi lambang kemakmuran, sekarang lambang itu tergerus kepentingan lahan tinggal. Bukan hanya minuman yang dioplos, beras premium pun jadi prospek mafia, kartel, yang piawai melihat celah kenaifan rakyat jelantah.
Teks bacaan utama hari ini menyodorkan pedang, imaji yang sekarang dipakai juga untuk memberi label pada lembaga pembela keadilan. Andai saja label itu sesuai dengan isinya dan tidak dipalsukan seperti minuman dan beras….
Apa mau dikata. Post-truth: keputusan emosional berjaya. Terserah faktanya gimana, pokoknya wuuush jalan terus, rangkap jabatan lumrah, aji mumpung tetap digdaya.
Pedang dalam teks bacaan hari ini bukan simbol politik (kekuasaan), melainkan simbol eskatologis: orang mesti memilih beriman atau tidak. Jemaat penulis teks bacaan hari ini sudah akrab dengan konflik kepentingan antara keluarga dan panggilan iman. Akan tetapi, sebagian dari mereka juga sadar bahwa dua kepentingan itu bisa jadi dalih untuk mengabaikan salah satu (bdk. Mat 15,3-6: tak usah bantu ortu karena duitnya sudah dipakai untuk ritual kurban bagi Allah).
Betapa mengerikannya nama Allah disebut di mana-mana beriringan dengan ketidakadilan sosial. Semoga orang beriman tidak submisif pada ketidakadilan sosial dan kebohongan yang terus dilantunkan di negeri ini. Amin.
SENIN BIASA XV C/1
14 Juli 2025
Senin Biasa XV C/1 2019: Damai Gimana
Senin Biasa XV A/1 2017: Meributkan Atribut
Senin Biasa XV B/1 2015: Perbesar Tempurungnya
