Tak pernah ada kamusnya bahwa menjadi orang beriman itu gampang. Untuk beragama, serumit-rumitnya prosedur atau selama-lamanya waktu yang dibutuhkan orang, memang gampang. Ambillah contoh yang saya tahu persis. Untuk beragama Katolik itu dibutuhkan minimal setahun atau enam bulan pelajaran dan ada ujiannya juga. Kalau tidak lulus dan masih ingin jadi Katolik, mesti mengulang ujiannya atau bahkan pelajarannya. Katakanlah itu sebagai proses matrikulasi supaya orang memiliki platform yang kurang lebih sama dengan orang-orang lain yang sudah memeluk agama Katolik.
Tentu itu hanya berlaku untuk orang-orang dewasa yang selama hidupnya tak mengenal kebiasaan dan tradisi Katolik. Mereka yang lahir dari keluarga Katolik dan dibaptis sejak bayi seperti saya ini tentu tak perlu mengikuti pelajaran setahun atau enam bulan untuk dibaptis secara Katolik. Cukup mempertahankan nafas sewaktu digendong simbok atau bapaknya ke gereja dan nangis oek oek pun takkan membatalkannya untuk menerima baptisan dan itu sah 100%. Setelah itu ya mboh apakah si bayi ini akan jadi orang beriman (Katolik); pokoknya sudah beragama Katolik. Gampang, kan?
Untuk menjadi orang beriman (dalam agama Kristiani berarti menjadi murid Kristus) tidak segampang memeluk agama (entah Protestan, Katolik atau agama apapun). Orang jadi beriman hanya karena pilihannya sendiri dalam menanggapi perwahyuan Allah dalam batinnya, bukan karena terlahir dari keluarga beragama tertentu. Bacaan hari ini mengungkapkan seberapa tinggi kualitas pilihan orang itu: barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.
Kata ‘Aku’ di situ tentu dimaksudkan sebagai sosok pribadi yang memanggil setiap orang untuk beriman, yaitu Tuhan yang mewahyukan diri kepada manusia. Ini jelas melampaui agama sebagai salah satu koridor untuk menanggapi wahyu Allah itu. Sayangnya, di sana sini masih saja terjadi intrik-intrik yang memprihatinkan yang justru mencoreng kemuliaan agama sebagai jalan untuk menanggapi wahyu Allah itu. Ini menjelaskan betapa jauh lebih sulit mengundang orang untuk beriman lebih dari sekadar memeluk agama; berlaku untuk agama manapun.
Konon di ujung timur pulau tempat saya tinggal ini ada murid perempuan yang tidak jadi masuk ke sekolah negeri impiannya karena kewajiban mengenakan jilbab, padahal dia nonmuslim. Kalau saya sang murid perempuan itu sih, saya lebih memilih ‘kehilangan nyawa karena Aku’ daripada kehilangan sekolah impian tadi. Artinya, saya tak hendak memperkuat asosiasi jilbab dengan Islam (karena temannya teman saya yang Katolik di Siria pun berjilbab sehari-harinya). Maksud saya, kalaupun menolak menggunakan jilbab, itu bukan karena saya nonmuslim, melainkan karena alasan lain.
Marilah berdoa supaya semakin banyak orang, apapun agamanya, yang sungguh-sungguh dalam ketulusan hati memperdalam kadar keimanannya lebih daripada galau dan ribut dengan atribut agama. Semoga undangan Allah untuk semakin dekat dengan-Nya, dengan sikap kepasrahan, penyerahan diri, jauh lebih terdengar daripada persoalan atribut. Sekali lagi menyitir tulisan Antoine de Saint-Exupéry: It’s only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.
Tuhan, ajarilah kami melihat dengan hati dan tak melulu meributkan atribut. Amin.
HARI SENIN BIASA XV A/1
17 Juli 2017
Senin Biasa XV C/2 2016: Panggilan Gentho
Senin Biasa XV B/1 2015: Perbesar Tempurungnya
Senin Biasa XV A/2 2014: Agama Konyol
Categories: Daily Reflection