Saya tahu ada artis yang namanya memakai kata aura, tetapi saya tidak yakin ada petani yang mengadopsi nama itu sampai belakangan ini populer istilah aura farming. Saya tak tahu nama lengkap petani itu, tetapi lihatlah, ada relatif banyak pesohor yang memperagakan tarian pacu jalur bikinan seorang anak SD di Riau, dan bertebaran di mana-mana mimikri terhadap joget anak SD itu; dan, menariknya, ada yang mencoba menggelembungkan Indonesia di kancah dunia: budaya Indonesia di panggung dunia!
Tentu, supaya kelihatan bahwa itu suatu budaya, dicarilah filosofi di balik joget bocil itu. Anda masih ingat anekdot kucing dan ibadat, bukan? Begitulah kira-kira bagaimana propaganda ini bekerja: sikat dulu aja bleh, pikir belakangan. Yang penting populer, followernya banyak dulu, ‘konten’ dari kontennya peduli amat!
Kemunculan ajaran agama sebetulnya mirip-mirip juga dengan aura farming itu: ex post facto. Gak ada ceritanya sepuluh perintah Allah itu mak jegagik nongol di Mesir. Ia muncul dalam sejarah keluarnya bangsa Israel dari penindasan di Mesir. Khotbah di Bukit yang dilekatkan pada Yesus dari Nazaret juga tidak muncul dari langit, tetapi dari pengalaman historis di sekeliling Yesus dalam konteks imperialisme Romawi. Alquran pun demikian, tidak diturunkan semalam suntuk, tetapi dalam sejarah hidup Nabi Muhammad berhadapan dengan penindasan oleh kekuatan status quo kaum Quraisy.
Teks bacaan utama hari ini berisi kecaman Yesus terhadap kota basecampnya sendiri. Kenapa? Karena orang-orangnya tak melihat bagaimana undangan pertobatan muncul lewat pekerjaan-pekerjaan Allah di balik mukjizat dan penyembuhan di tempat-tempat lain. Alih-alih membaca undangan itu, mereka menuntut Yesus membuktikan warta undangannya dengan bikin mukjizat. Sayangnya, mukjizat itu malah diberikan kepada orang-orang yang dikategorikan kafir.
Pesan agama sejatinya memang bersifat subversif. Apa daya, penganutnya, tentu yang naif, lebih enjoy dengan versi yang populer. Bagi mereka ini, kontraksi ekonomi tak ada bunyinya, PMI menurun, pungutan dan hutang meningkat, tak berbunyi apa-apa. Juga jika warga dianiaya dengan aparat bersenjata karena kerap mencuri hasil perkebunan milik perusahaan, tak berarti apa-apa selain memakluminya karena maling mesti dihukum. Pun kalau warga terusir dari tanah ulayat demi proyek oligarki, ya ben wae ta!
Semoga Anda dan saya tidak memelihara kenaifan beragama. Amin.
SELASA BIASA XV C/1
Pw S. Bonaventura
15 Juli 2025
Selasa Biasa XV C/1 2019: Let’s Kill This Love
Selasa Biasa XV A/1 2017: Juara Dunia? Tênané
Selasa Biasa XV B/1 2015: Untuk Apa Agama?
