Ini cerita bijak yang pernah saya dengar: seorang peziarah menemukan batu mulia yang tak ternilai harganya. Ia bermalam di rumah seorang warga dan sebelum berangkat tidur mereka terlibat dalam pembicaraan panjang. Sang peziarah menceritakan perjalanannya. Tak lupa pula ia menunjukkan batu mulia yang ditemukannya sebelum ia tiba di rumah warga itu. Bak kolektor batu akik yang menguasai seluruh jenis batu mulia di jagad ini, ia menunjukkan kekagumannya dan mendeklarasikan bahwa batu mulia yang ditemukan peziarah itu adalah jenis langka dan harganya tak terjangkau oleh kekayaan para koruptor di negerinya (Lha ya jelas, wong kekayaannya minus kok).
Keesokan harinya si peziarah berpamitan dan sebagai ucapan terima kasih atas tumpangannya, ia mempersilakan tuan rumah untuk menyampaikan permohonan yang akan dipenuhi oleh si peziarah. Spontan tuan rumah menyebut batu mulia yang ditemukan oleh peziarah itu. Tuan rumah sangat senang bukan main karena si peziarah memenuhi janjinya: diambilnya batu mulia yang ditemukannya dan diberikannya kepada tuan rumah itu, lalu pergi melanjutkan perjalanannya. Setelah hampir keluar dari kampung itu, tiba-tiba si peziarah dikejutkan oleh warga yang ditumpanginya. Warga itu menyerahkan batu mulia yang diterimanya dari si peziarah.
Sang peziarah terheran-heran bahwa warga itu malah mengembalikan batu mulia kepadanya. “Bukan batu mulia ini yang saya inginkan. Saya ingin memiliki kemampuan seperti yang Anda miliki untuk dengan mudah memberikan batu mulia ini kepada saya,” begitu penjelasannya.
Perseteruan Yesus dan kelompok orang Farisi semakin seru dan bahkan mereka sudah melibatkan batu untuk melempari Yesus. Meskipun gak jadi, kelihatanlah bahwa orang Farisi semakin gemes terhadap Yesus dan menilai Yesus sebagai orang yang kerasukan setan. Orang Farisi macam itu selalu salah sambung, salah paham, tak mengerti wacana yang disodorkan Yesus. Mereka tidak mengenal keabadian atau hidup kekal selain hukum dan nanti setelah mati (padahal kalau abadi itu adanya setelah mati ya berarti tidak kekal toh wong gak berlaku selama-lamanya)!
Warga yang mengembalikan batu mulia tadi melihat hidup kekal: bukan hidup kelak, melainkan hidup bahagia di sini dan sekarang ini juga. Keabadian atau kekekalan tidak terletak pada batu mulianya, melainkan pada disposisi terhadap batu mulia itu. Semakin orang memiliki detachment, semakin ia mengalami hidup kekal: kebahagiaan tanpa objek. Wacana ini tak dimengerti oleh mereka yang hidupnya dibatasi oleh kemuliaan batu.
HARI KAMIS PRAPASKA V B/I
26 Maret 2015
Posting Tahun Lalu: Ikut Dia, Kagak Ada Matinye…
Categories: Daily Reflection