Keknya baru beberapa waktu kisah Injil hari ini diulas dengan tinjauan paradoksal (janda miskin yang kaya), kok hari ini sudah nongol lagi ya? Dua minggu lalu itu teksnya dari Injil Markus, yang hari ini dari Lukas. Isinya sama: Yesus melihat orang kaya dan janda miskin memasukkan uang kolekte ke kotak persembahan dan ia justru memuji persembahan janda miskin itu. Di balik ‘pujian’ itu tersirat cara pandang Yesus yang memang berbeda dari cara pandang orang pada umumnya.
Sejalan dengan insight kemarin mengenai Kerajaan Allah yang ada di sini tapi berkriteria bukan dari dunia sini, Yesus tidak memakai kriteria angka atau jumlah. Ia pastinya tidak mengikuti sekolah formal yang mengajarkan bahwa masyarakat itu lebih dari sekadar penjumlahan anggota-anggotanya, tetapi ia tampak sungguh mengerti bahwa bahkan matematika pun bukan cuma punya fungsi tambah kurang kali bagi. Yakin seyakin-yakinnya saya bahwa Yesus takkan pernah berpikir jika semua orang di dunia ini memeluk agama Yahudi, semesta pasti jos, damai dan bahagia. Kiranya dia juga tahu bahwa kuantitas materi tak menjamin kualitas relasi.
Tetapi apa mau dikata. Di dunia ini yang ada bukan cuma cewek matre’ tetapi juga cowok matre’: mengukur kebaikan hidup dari banyaknya jumlah materi ini itu, entah berupa pulsa ataupun saham, bahkan lebih ngeri lagi ketika yang material itu diabstraksikan ke dalam institusi yang disebut agama. Itulah yang menghasilkan logika-logika sesat dan bikin perang di sana sini, tetapi juga drama tragedi lucu di panggung politik yang berujung pada kerugian negara, yang berarti juga kerugian rakyat kebanyakan.
Yesus tidak melihat jumlah. Oh, salah. Dia melihat jumlah (makanya tahu mana yang banyak dan mana yang sedikit), tetapi tidak memakainya sebagai kriteria. Kalkulasi yang dibuat Yesus tidak didasarkan pada jumlah materi. Ia melihat dengan mata kebijaksanaan yang menelusuri hati manusia dan kedalaman perasaannya, yang kerap dikaburkan oleh jumlah: uang, teman, prestasi, dan sebagainya. Bacaan pertama mengindikasikan poin pokok dari kriteria yang dipakai Yesus: ketetapan hati orang yang terpaut kepada Allah.
Keterpautan hati orang kepada Tuhan tak bisa diukur dengan kuantitas relasi (yang malah bisa mengaburkan), tetapi dengan kualitas relasi orang dengan realitas, baik realitas duniawi maupun ilahi.
Ya Allah, semoga Engkau senantiasa merajai hati dan membimbing pikiran dalam setiap langkahku. Amin.
HARI SENIN BIASA XXXIV B/1
23 November 2015
Posting Tahun Lalu: Totality Makes A Difference
Categories: Daily Reflection