Gantengnya Polisi

Konon, katanya, dengar-dengar nih, Hukum Sabat orang Yahudi dulu (mungkin sampai sekarang) begitu nyentrik dan jadi pembeda bangsa Yahudi dari bangsa lain yang sama-sama dijajah Roma. Orang-orang Roma katanya menjuluki bangsa Yahudi ini malas karena Hukum Sabat itu: ingatase budak penjajah kok ya bisa-bisanya ngotot istirahat! Lha justru itulah. Sori-sori jadi budak, mereka ini bangsa terpilih je, martabat bangsa terpilih tentu saja bukan bangsa budak (yang tak punya hari istirahat). Mereka keukeuh dengan hukum ini dan bangsa Romawi cuma bisa geleng-geleng (kalau tidak melakukan tindak kekerasan).

Ketegaran mereka pada Hukum Sabat itu didorong oleh keyakinan mendalam bahwa manusia dicipta untuk suatu pesta firdausi, bukan untuk kerja. Tapi, keyakinan itu lantas difiksasi secara keliru, rancu, kaku dengan aneka perangkat aturan yang begitu detail sehingga malah pesta firdausi sendiri susah diwujudkan. Kitab Makabe mengisahkan ironi itu (1Mak 2,32-41): sewaktu bangsa Israel diserbu pada hari sabat, mereka tak berbuat apa-apa juga untuk mempertahankan diri sehingga habislah seribuan orang Yahudi (angka yang sangat fantastis pada masa itu). Matatias dan kawan-kawannya kemudian bersepakat bahwa Hukum Sabat mestilah tetap relatif terhadap nilai kehidupan manusia sendiri.

Yesus punya sikap yang kurang lebih sama. Merelatifkan Hukum Sabat tak berarti menghapus hukum itu. Semua hukum, termasuk hukum agama, mesti dihormati, dipertahankan sejauh mengabdi pada nilai kehidupan yang menjamin kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya. Dengan begitu tak ada dikotomi alias pemisahan antara yang sakral dan yang profan. Segala hal disucikan bukan karena letaknya di tempat yang dianggap sakral, melainkan karena memberi nilai kehidupan yang sakral.

Yesus bisa diberi atribut sebagai pribadi merdeka bukan karena ia anarkis, melainkan justru karena ia mengenali substansi hukum dan tahu bagaimana mengaplikasikannya secara bijak. Ini juga tecermin dalam dialog pada bacaan pertama: Allah menilai bukan atas dasar paras seseorang, melainkan atas dasar hati orang. Penilaian macam ini tak bisa dilakukan jika orang cinta buta terhadap hukum dan tak mampu mengaitkannya dengan nilai kehidupan.

Seorang polisi (entah ganteng modis kekinian atau tidak) menjalankan tugas suci bukan karena ia hendak membunuh teroris, melainkan karena ia hendak membela nilai kehidupan. Lah, teroris kan juga membela kehidupan?! Ya, tetapi kehidupan yang dibelanya (dengan cara teror) tak mencerminkan hidup surgawi (meskipun klaimnya jihad sekalipun). Sekali lagi, tindakan seseorang merupakan tindakan sakral bukan karena tangannya membuat tanda salib atau sujud menyembah atau teriakan/nyanyian “pujian bagi Allah”, melainkan karena keterpautan hatinya dengan Allah yang memancarkan cinta: damai, pengampunan, keheningan, ketenangan, keamanan, kebebasan kepada sesamanya. Maka, gantengnya polisi mungkin memang terletak pada keluhuran hatinya membela hidup sesama, alih-alih cari-cari alasan untuk menerima suap.

Ya Tuhan, semoga dari hatiku juga terpancar kerahiman-Mu. Amin.


HARI SELASA PEKAN BIASA II C/2
19 Januari 2016

1Sam 16,1-13
Mrk 2,23-28

Posting Tahun Lalu: Optimis Tanpa Harapan, Jadi Apa?