Barangkali ada sebagian orang tua Katolik yang merasa diri gagal mendidik anak-anak mereka yang beranjak dewasa. ABG ini susah ke gereja, tidak mau aktif dalam kegiatan gereja. Jangankan ke gereja mingguan, saat Natal Paska pun belum tentu mereka ke gereja. Kalaupun ke gereja, mungkin ya untuk ikut rame-rame membuat dekorasi, bukan untuk berdoa atau merayakan misteri iman Gereja. Orang tua seperti ini tak habis pikir: sudah membaptiskan anak-anaknya sejak bayi, mengajari mereka sampai hafal doa-doa pokok, menyekolahkannya di sekolah katolik, kok sekarang tak lagi mau ke gereja untuk berdoa.
Kalau orang tua seperti ini datang kepada saya, akan saya hibur dengan salah satu posting di blog ini: yo tak perlu memaksakan petunjuk dari Allah. Allah bisa bekerja dengan aneka macam cara dan kalau kita percaya bahwa Allah itu cinta, bagaimana mungkin kita memaksa Allah supaya memaksa orang untuk beriman? Jangankan kita orang biasa, para murid atau rasul saja bisa menyangkal Yesus atau berkhianat kok! Saya harap ini bisa menghibur. Pokoknya, dari pihak kita, do the best, setelah itu biar Allah yang mengerjakan sisanya.
Lha, soalnya ya di situ itu. Apakah orang tua yang merasa diri gagal tadi memang sudah menjalankan perannya dengan usaha terbaik?
Ya itulah, Romo, kami ini kurang apa ya? Kami sudah membiasakan anak kami berdoa secara Katolik, kami sampaikan juga sedikit demi sedikit pengetahuan agama Katolik, dulu juga kami selalu mengajaknya pergi ke gereja bersama, tetapi sudah sekian waktu ini mereka tak pernah mau lagi pergi bersama. Mereka pilih pergi bersama teman-temannya. Setelah itu, tak lagi pergi ke gereja. Kurang apa ya, Romo?
Karena ini hari Kamis Putih, jawabannya ialah: kurang teladan, kurang kesaksian. Itu saja.
Penularan iman itu soal teladan baik dari luar yang memantik tanggapan dari kedalaman diri orang terhadap objek iman itu. Orang boleh saja didrill untuk menghafalkan aneka rumusan doa, menghafalkan seluruh isi Kitab Suci, katekismus, mengingat tata cara perayaan Ekaristi, jadi koster, bahkan jadi pastor, tetapi tanpa teladan atau kesaksian iman, semua itu jadi usaha yang hampir tak berguna. Sistem Kebut Setahun tak banyak membantu perkembangan iman. Bahkan, bisa jadi malah menjadi pengganggu perkembangan iman: yang dipikirkan cuma soal membasuh kaki (satu kaki atau dua, dengan sabun atau tidak, mesti dicium atau tidak, perempuan boleh tidak, dan lain sebagainya), pakaian pantas pakai, rubrik, TPE, dan sejenisnya!
Tindakan Yesus membasuh kaki para muridnya jelaslah simbolik. Kalau begitu, kata-kata “Jadi jikalau aku membasuh kakimu…, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu” tak bisa hanya ditangkap secara literal. Memang Gereja Katolik menuangkan pemahaman literalnya dalam upacara pembasuhan kaki pada perayaan Kamis Putih, tetapi jelas tidak dimaksudkan untuk saling membasuh umat yang berjumlah 2000an di gereja! Secara teknis ribet, tetapi yang jauh lebih penting ialah bahwa bukan itu yang dimaksudkan Yesus. Ini adalah soal saling mencintai. Tanpa teladan bahasa cinta, segala ilmu tentang iman jadi muspra.
Tuhan, ajarilah kami bahasa cinta-Mu. Amin.
HARI KAMIS PUTIH
24 Maret 2016
Kel 12,1-8.11-14
1Kor 11,23-26
Yoh 13,1-15
Posting 2015: Faith in The Dark
Posting 2014: Kamis Putih: Perayaan Cinta
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.