Beberapa tahun lalu Paus Fransiskus mengutarakan pernyataan berkenaan dengan relasi dengan ateis yang membuat beberapa pihak bereaksi seturut cara mereka menafsirkan wacana. Saya kopikan di sini rekaman kotbahnya dalam salah satu perayaan Ekaristi.
Anda tak perlu mengerti bahasa Italia untuk menangkap pesan pokoknya. Masukkan saja judul klip itu (Papa Francesco nell’omelia: coerenza e testimonianza, chiavi della vita cristiana) ke dalam Google Translate dengan input bahasa Italia dan Anda dapatkan terjemahannya. Di awal dia katakan, jika Anda berhadapan dengan seorang ateis yang berkata bahwa ia tak percaya kepada Tuhan, Anda bisa saja baca semua literatur di perpustakaan lalu Anda sodorkan kepadanya bahwa Tuhan eksis, bahwa eksistensinya bahkan bisa dibuktikan, orang ateis itu takkan kemudian punya iman.
Akan tetapi, kalau di hadapannya Anda memberikan kesaksian akan hidup Kristiani yang koheren, sesuatu akan bekerja dalam hati si ateis itu. Kesaksian Andalah yang akan membawa kegelisahan dalam hatinya, tempat Roh Kudus sendiri bekerja. Ini adalah rahmat yang mesti dimohon seluruh Gereja: ya Tuhan, semoga kami menjadi koheren. Tentu saja, kita lemah, dan karena itu kita perlu minta pengampunan. Kita semua lemah, pendosa, yang diberi kemampuan untuk meminta pengampunan dan Dia takkan pernah lelah memberi pengampunan. Memiliki kerendahan hati untuk meminta ampun: Tuhan, di sana-sini hidup kami tak koheren, ampunilah kami.
Bagaimana kesaksian hidup yang koheren itu? Tak perlu rumit-rumit, ini hidup yang bisa diterima common sense: kalau mau dapat upah, ya bekerja, kalau mau dapat nilai ujian baik, ya belajar, kalau mau dapat pahala atau hiburan rohani, ya uruslah perkara batinnya!
Mengapa agama tak menarik orang? Karena agama lebih menonjolkan sikap koersif daripada kesaksian hidup yang koheren! Saya bersimpati pada saudara-saudari Muslim yang imannya tercederai oleh mereka yang mengikuti prinsip kerja terorisme. Itu juga terjadi pada kelompok fundamentalis Kristen, Katolik, dan lain-lainnya. Piye jal, Gusti Allah saja memberi kebebasan kepada manusia, lha kok malah umat beragama berani-beraninya mengklaim atas nama Gusti Allah menyita barang dagangan, memaksa orang berpuasa, memaksa orang berbuat baik, memaksa orang jadi robot!
Kebaikan akan kehilangan maknanya jika muncul sebagai mekanisme kompulsif semata. Bayangkan Anda merasa harus memberi uang receh kepada pengemis; Anda tidak berorientasi pada kebaikan pengemis, melainkan kebaikan Anda sendiri. Keindahan akan kehilangan daya tariknya jika disodorkan sebagai propaganda. Bandingkan Anda berkunjung ke tempat wisata dan Anda diwajibkan melihat ini itu secara cepat oleh tour guide dengan Anda sendiri menikmati objek wisata tanpa desakan tempat dan waktu. Kebenaran akan lenyap jika tak punya keterbukaan pada ‘yang berbeda’. Bayangkan kalau masing-masing agama menentukan sendiri kebenaran (mutlak) itu: perang, mulai dari batin, mulut, sampai dengan senjata!
Ya Tuhan, semoga kami semakin mampu memberi kesaksian hidup yang sinkron dengan cinta-Mu. Amin.
PERINGATAN WAJIB ST. BARNABAS
(Sabtu Biasa X)
11 Juni 2016
Kis 11,21b-26;13,1-3
Mat 10,7-13
Posting Tahun 2015: Murah, Murahan
Posting Tahun 2014: Bukan Modus: Son of Encouragement
Categories: Daily Reflection