Jangan-janganisme

Saya gak kenal Martin Luther King, tetapi kata tetangga yang adalah teman dari canggah yang bertetangga dengan canggah seorang Kristen yang simbah canggahnya kenal simbah canggah tetangga negaranya, Martin Luther King itu pernah bertutur begini: Ketakutan pergi mengetuk pintu, iman datang membukakan pintunya, dan setelah pintu dibuka, gak ada siapa-siapa.

Pesannya jelas, bukan? Iman mengalahkan ketakutan. Secara literal sih memang tuturan Martin Luther King itu berarti iman meniadakan ketakutan (frase ‘gak ada siapa-siapa’). Akan tetapi, apakah pada kenyataannya orang beriman seratus persen bebas dari ketakutan? Hmm… mungkin idealnya begitu, tetapi realitasnya kok sepertinya tidak ya. Seingat saya, Paus Yohanes Paulus II dulu juga punya pesan kuat itu: jangan takut, jangan takut, dan jangan takut! (Lihat misalnya proses beatifikasinya pada link ini).

Pesan teks hari ini juga memuat pokok itu. Dalam konteks kemuridan, dalam konteks tugas perutusan, umat beriman sebaiknya gak takut. Kenapa? Karena ketakutan itu, dari perspektif spiritual discernment, adalah salah satu manifestasi kekuatan roh jahat yang hendak mengekang orang untuk merealisasikan Sabda Allah dalam hidup manusia. Acap kali orang tak berbuat apa-apa demi kebaikan bersama karena gèk-gèk atau jangan-janganisme: jangan-jangan nanti ia tersinggung, gèk-gèk para koruptor makin nyinyir, jangan-jangan orang ateis makin banyak, jangan-jangan orang mudanya gak mau lagi beragama, dan sebagainya.

Maklum, bacaannya lanjutan yang kemarin, pesannya juga mirip-mirip dengan yang kemarin: bukan cêngèngas cêngèngèsnya, melainkan jangan takutnya, jangan minggrang-minggringnya. Ini bukan pesan moral ala rajin menabung dan berlaku sopan, melainkan soal meletakkan pilihan untuk bertindak dalam iman kepada Allah yang menghalau ketakutan ala roh jahat. Ini juga bukan soal berani menerima tantangan petualangan fisik, terjun bebas, panjat tebing berhadiah, dan sebagainya. Takut ketinggian, takut darah, takut sakit, takut menderita, takut kelaparan, takut dihina, takut dibully, dan sebagainya mungkin boleh saja bertengger, tetapi kalau sudah nyangkut soal realisasi Sabda Allah, itu perlu diatasi, dilampaui karena keteguhan dan kepercayaan pada penyelenggaraan ilahi. Bagaimana melampauinya? Tiap orang punya contoh dari pengalaman hidupnya sendiri mengenai buah keteguhan iman dan kepercayaan kepada Allah yang maharahim, maha penyayang. Sumonggo kalau berkenan membagikannya via blog ini, nanti saya bayar deh kalau saya punya duit, haaaaa….

Ya Tuhan, tambahkanlah iman kami kepada-Mu. Amin.


SABTU BIASA XIV
9 Juli 2016

Yes 6,1-8
Mat 10,24-33

Posting Sabtu Biasa XIV B/1 Tahun 2015: Transparan Itu Sesuatu
Posting Sabtu Biasa XIV Tahun 2014: Guru Tak Lebih dari Muridnya