Mengenang kekonyolan masa kecil memang bisa bikin senyum-senyum sendiri karena bisa menyadarkan diri betapa bego’nya diri ini. Saya pernah cerita soal takhayul dalam posting ‘Apa Pun Agamanya‘ yang menjadikan bola basket sebagai alatnya. Itu tidak hanya terjadi sewaktu saya hendak memutuskan untuk masuk SMA Seminari atau tidak, tetapi juga, ini yang bikin senyum-senyum sendiri, untuk dapat si diahahahaha. Kalo’ bolanya masuk ring, bakal dapat si dia, kalo’ gak masuk…. ya diulangi lagi sampai masuk, hahaha… Dasar bego’! Apa korelasinya bola basket masuk ring dan dapetin si do’i jal?!!! Gak ada usaha mah, gak usah ngayal!
Meminta tanda dari Tuhan, kelihatannya tak begitu relevan sekarang ini karena tanda ada di mana-mana. Problemnya ada pada penafsirannya saja, pada mata yang kita pakai untuk melihat, dan justru itu susahnya karena biar bagaimanapun, menafsirkan tanda dari Tuhan membutuhkan pertobatan, perubahan perspektif, atau fusion of horizons. Maka, yang dibutuhkan bukan tanda baru, melainkan kebijaksanaan untuk menafsirkan tanda itu. Tandanya apa toh? Lha ya sumonggo tanda mana yang kita yakini: Kitab Suci, Yesus Kristus, para nabi, sains, semesta dan lain sebagainya. Tanda-tanda itu ditafsirkan dengan frame yang menyambungkan orang dengan ‘jalan Tuhan’ sendiri. Lha taunya itu ‘jalan Tuhan’ dari mana?
Sejauh saya tahu sih kalau orang Kristen tolok ukurnya adalah kebangkitan: sejauh mana hal yang disebut ‘jalan Tuhan’ itu memungkinkan kebangkitan Kristus, yang dalam bacaan pertama disebutkan sebagai cinta keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati. Tentu tidak bisa begitu saja orang mengklaim “Oh saya selalu cinta keadilan, setia, dan rendah hati pula” (suatu pernyataan yang dengan sendirinya jadi contradictio in terminis). Orang mesti dengan jujur masuk ke dalam batinnya dari mana datangnya suara-suara yang diikutinya dan apa dampaknya setelah ia mengikuti suara-suara itu: makin gelisah, makin picik-sempit, fanatik, keras, tertutup, atau sebaliknya semakin luas wawasannya, memberi kedamaian batin, kegembiraan, dan keteguhan hati untuk semakin mengenal Allah. Di situ diperlukan suatu proses discernment yang tidak sesederhana orang memutuskan untuk memilih menu makanan.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin mampu menilik batin kami untuk Kau uji dengan Sabda-Mu. Amin.
SENIN BIASA XVI
18 Juli 2016
Posting Senin Biasa XVI B/1 Tahun 2015: All about Relationship
Posting Senin Biasa XVI Tahun 2014: Permintaan Kurang Ajar
Categories: Daily Reflection