Adakah kira-kira orang yang berpikiran untuk married selama lima atau sepuluh tahun saja? Saya kira ada sih tetapi pada umumnya orang membayangkan institusi perkawinan ini sebagai lembaga hidup yang durasinya dihentikan oleh kematian. Pada kenyataannya tak sedikit perkawinan yang durasinya singkat saja, yang mengindikasikan dihidupinya suatu ikatan sementara. Komitmennya pun bersifat sementara, bergantung pada perubahan selera, daya tahan, level perselingkuhan, dan sebagainya. Maksudnya, karena cekcok pun perkawinan bisa dihentikan; karena selingkuh pun, komitmen terputus; karena tak ada rasa menggebu-gebu lagi pun, perkawinan bisa disesuaikan dengan semacam model hidup lain yang mengakomodasi ‘kultur sementara’ lainnya.
Sekitar dua bulan lalu, Paus Fransiskus dalam pembukaan Konferensi Pastoral menanggapi pertanyaan umat mengenai krisis hidup berkeluarga. Ia menuturkan bahwa kebanyakan institusi perkawinan Katolik yang sah itu sebetulnya tak valid lagi. Belakangan pernyataan lisan ini diralat: sebagian dari ikatan perkawinan Katolik pun tidak sah. Maksudnya, meskipun secara formal syarat-syarat perkawinan Katolik dipenuhi, ada saja pasangan yang sesungguhnya sejak masa persiapan perkawinan mereka tak mengerti ngapain married. Orang tertipu oleh gambaran hidup berkeluarga sebagai mekanisme buru-buru untuk menyelesaikan aib karena kehamilan. Orang tak punya planning untuk membangun keluarga (ngerti bahwa hidup berkeluarga itu butuh dukungan finansial tetapi ya nekad kawin meskipun tak punya pekerjaan yang bisa diharapkan memberi dukungan finansial).
Apakah simptom yang ditangkap Paus ini baru terjadi belakangan ini? Saya ragu-ragu. Bisa jadi sejak zaman Yesus pun institusi perkawinan diterima begitu saja secara otomatis. Namanya orang hidup tuh ya kawin dan dikawinkan, titik. Orang tak mengutak-atik lagi landasan untuk perkawinan, alasan untuk membangun komitmen, persiapan untuk memeliharanya. Akhirnya, benar-benar mekanis dan tak ada ‘kehidupan’ dalam hidup keluarga seperti itu. Adanya cuma perang dengan berbagai macam persenjataan yang sewaktu-waktu bisa memutuskan tali cinta atau, kalau tidak begitu, perkawinannya cuma menggoreskan luka di sana-sini.
Komitmen yang bersifat sementara mengubah relasi antarpribadi menjadi relasi politik, relasi kepentingan, relasi saling mengobjekkan, relasi instrumental. Itu mengapa dulu pada masa kerajaan perkawinan bisa dijadikan tunggangan kekuasaan dan kalau sekarang orang masih saja berpegang pada komitmen sementara, barangkali ia hidup dalam monarchistic augmented reality. Ia menyukai permainan cinta tapi tak pernah sungguh-sungguh masuk dalam keutuhannya. Ia tak happy dengan komitmen, alias tak happy dengan dirinya sendiri.
Ya Tuhan, ajarilah kami memelihara komitmen dengan-Mu dalam setiap pilihan hidup kami. Amin.
JUMAT BIASA XIX
12 Agustus 2016
Posting Jumat Biasa XIX B/1 Tahun 2015: Paus Izinkan Perceraian dalam Katolik?
Posting Jumat Biasa XIX Tahun 2014: Kawin Cerai Kawin Cerai
Categories: Daily Reflection
Saya tertarik dengan kata kultur. Karena kultur itu tidak hanya pada pribadi tetapi menyangkut masyarakat. Misalnya perkawinan untuk menghindari aib kehamilan, kultur masyarakat menciptakan hukuman sosial terhadap individu dan keluarganya. Hukuman sosial ini amat berat bahkan bisa menyebabkan pribadi yang tidak kuat bisa depresi bahkan bunuh diri.
LikeLike
Mas Alexander Indra, terima kasih komentarnya. Semoga kita jadi bagian yang bisa memberi kritik terhadap kultur yang korup ya. Amin.
LikeLike