Saya belum bisa menjawab pertanyaan mengapa murid-murid Yesus memarahi orang yang membawa anak-anak kepada Yesus. Siapa orang yang membawa anak-anak itu, entahlah. Kemungkinan besar ya ibu mereka. Kiranya mereka membawa anak-anak itu kepada Yesus untuk diberkati, diberi restu supaya kelak ‘jadi orang’. Lah! Persis mungkin dari situlah kita bisa menjawab pertanyaan tadi. Ungkapan ‘jadi orang’ itu diam-diam juga terpelihara dalam budaya di sini: anak-anak itu belum ‘jadi orang’. Tapi mosok ya cuma karena paradigma macam begitu para murid Yesus sampai menekan orang tua yang membawa anak-anak itu? Tentunya ada hal lain yang memberi alasan para murid Yesus memarahi orang yang membawa anak-anak itu.
Mungkin bisa dilihat sebagai pertimbangan teks Markus bab pertama pada akhir: Yesus menyentuh orang kusta dan orang itu sembuh, lalu Yesus berpesan supaya ia tak usah berkoar-koar, tetapi orang yang baru saja sembuh itu malah berkoar-koar tentang Yesus yang menyembuhkannya. Akibatnya? Yesus gak bisa terang-terangan masuk kota! Kenapa? Penjelasan kultural bisa menerangkannya: sentuhan dengan orang kusta menajiskan Yesus. Begitulah hukum yang berlaku, dan kalau najis, ya mesti tak boleh masuk kota.
Apakah anak-anak itu tadi najis? Barangkali ibunya yang najis, entahlah. Anyway, pokoknya para murid Yesus itu ngerti risiko hukumnya kalau sentuhan dengan anak-anak itu menajiskannya. Entah anak-anak atau ibunya yang najis, pokoknya keduanya dianggap para murid Yesus bisa menajiskan Yesus. Itulah kiranya kekhawatiran murid Yesus. Itulah fokus perhatian murid Yesus yang memarahi orang-orang dari kelompok minoritas itu.
Hmmm… kalau murid Yesus saja bisa luput, apalagi pengikutnya dari generasi-generasi selanjutnya ya! Yesus lebih concern pada gerak batin orang yang mengharapkan berkat dari Allah, relasi personal dengan Tuhan, tetapi murid-muridnya malah stuck pada problem kenajisan. Jebulnya, benih radikalisme itu ya sudah ada sejak zaman murid Yesus, yaitu murid-murid yang belum mendapat terang Paska: mereka yang tak pernah move on dari bentuk legalisme sesat, mereka yang memandang kelompok minoritas sebelah mata (tak melihat passion mereka untuk menggapai Kebenaran). Tentu, sebetulnya gapapa juga sih kalau mau memandang kelompok minoritas ini sebelah mata kalau kenyataannya memang orang yang memandangnya itu cuma punya satu mata!
Ya Tuhan, mohon kerendahan hati untuk belajar dari mereka yang tersingkir dari arena mimpi besar kekuasaan dunia. Amin.
SABTU BIASA XIX
13 Agustus 2016
Yeh 18,1-10.13.30-32
Mat 19,13-15
Posting Sabtu Biasa XIX B/1 Tahun 2015: Gak Ada Anak Haram Kecuali…
Posting Sabtu Biasa XIX Tahun 2014: Come Back, Please!
Categories: Daily Reflection