Kangen

Kemarin mampir di akun Facebook saya klip video tentang sebuah social learning yang kiranya bisa dilihat pada tautan ini. Social experiment ini kiranya perlu diulang kalau objek eksperimennya Yesus dan murid-muridnya. Lha yang lain-lain puasa kok malah Yesus ini diam saja terhadap murid-muridnya. Kelompok Yohanes Pembaptis berpuasa, kelompok orang Farisi juga berpuasa. Kenapa murid-murid Yesus tidak? Apakah mereka tak merasa diri tereksklusi dari kelompok bangsa Yahudi? Atau mereka ini memang orang-orang eksklusif yang tak mau berpuasa?

Saya kira persoalannya bukan seperti yang disodorkan perempuan dalam klip social experiment itu, yang merasa aneh rasanya kalau ia tidak mengikuti apa yang dibuat orang banyak (yang aneh buat saya malah kenapa dia gak kunjung dipanggil masuk). Tidak disebutkan dalam teks bahwa Yesus menolak praktik puasa (wong dia sendiri ya katanya berpuasa selama 40 hari di padang gurun). Jadi, pertanyaannya ialah mengapa Yesus melakukan puasa secara berbeda dari kebiasaan kelompok-kelompok agamawan kaum Yahudi.

Religiositas yang hidup pada masa Yesus itu adalah hidup keagamaan yang dibuat dengan begitu banyak perilaku eksterior [lha emangnya ada perilaku interior?]. Maksudnya, agama diidentikkan dengan aneka aksesori, entah itu aturan, kebiasaan, tradisi, benda, yang membekap nafas roh, budi, dan hati orang sendiri. Tak ada ruang bagi gerak batin. Semuanya tertata, teratur, terprediksi seturut rubrik, rumus, tata liturgi yang sudah dipromulgasikan dan diapproved oleh Vatikan *eh belum ada Vatikan ya waktu itu. Poinnya, waktu itu seluruh tatanan diputuskan dari ‘atas’, dari kelompok orang yang kurang bijak dalam membedakan antara yang esensial dan yang aksidental, antara substansi dan forma, antara tujuan dan sarana.

Kekurangbijakan itu menjerumuskan orang pada kriteria yang tidak tepat untuk menilai hidup keagamaan yang sesungguhnya. Ini kelihatan dari pokok soal yang dipermasalahkan orang Farisi itu. Ia tidak bertanya,”Apakah murid-muridmu berpuasa?” melainkan “Mengapa murid-muridmu tidak berpuasa seperti kami dan murid Yohanes berpuasa?” Yang diperhatikannya adalah soal cara berpuasa, bukan rationale puasanya. Yang dipedulikannya adalah soal kebiasaan turun temurun, bukan Roh yang senantiasa berdialog dengan konteks hidup orang.

Iman dalam sejarah memang bergerak antara ‘yang lama’ dan ‘yang baru’, antara ‘yang dulu’ dan ‘yang sekarang’. Ini adalah tegangan klasik yang dikenal sejarah: kaum modernis yang tak bertolak dari kebenaran, dan kaum tradisionalis yang kebenarannya jadul. Sejarah mengenal kaum progresif yang krisis iman dan cenderung mengabaikan pokok-pokok iman dan kaum konservatif yang tak sanggup mewujudkan iman dalam cara-cara baru.

Celakanya, orang seperti Yesus ini, yang mau mencari hubungan antara gerak batin dan pilihan tindakan konkret, oleh kelompok progresif dianggap kurang radikal, sementara oleh kaum konservatif dicap sebagai pengkhianat tradisi. Padahal, ia tidak hendak menolak puasa, tetapi juga tak hendak menutup mata pada suatu kemungkinan baru. Gak apa ya, Sus Yesus, terima aja nasibmu. Apes-apesnya ya kamu dibunuh doang alias mati.

Tuhan, semoga kami senantiasa rindu pada-Mu, juga dalam setiap pikiran, perasaan, dan tindakan kami. Amin.


JUMAT BIASA XXII
2 September 2016

1Kor 4,1-5
Luk 5,33-39

Posting Jumat Biasa XXII B/1 Tahun 2015: Iman Sadis
Posting Jumat Biasa XXII Tahun 2014: Tobat Tulus vs Akal Bulus