Tak ada entri ‘mangkrak’ dalam KBBI daring (‘dalam jaringan’ alias online) dan maafkan saya karena tak mengerti dari mana kata itu berasal. Dalam kamus bahasa Kawi karya W.J.S. Poerwadarminta pada tautan ini dikatakan bahwa mangkrak berarti mbêngok, nêpsu. Kalau dicocok-cocokkan dengan penggunaan umum di media, barangkali ‘mangkrak’ berarti teriakan suatu proyek yang minta dituntaskan. Maklum, mungkin oleh orang-orang yang terkait dengan proyek ‘mangkrak’ itu duit untuk penyelesaian proyek dipakai untuk kepentingan lainnya, sehingga meskipun perencanaannya sudah jos, pelaksanaannya macet alias ‘mangkrak’ itu. Ini malu-maluin, juga menurut teks bacaan ketiga: groundbreaking-nya keren abis, duitnya abis beneran!
Proyek mangkrak bisa jadi menggemaskan. Itulah simbol hidup nan korup. Andaikan oh andaikan negeri ini minim korupsi, bisa jadi cita-cita Pancasila sudah kelihatan wujudnya sejak 50 tahun lalu, tapi untuk apa ya berandai-andai?
Ada jenis ‘kemangkrakan’ yang tentu saja melatarbelakangi proyek mangkrak seperti itu, yaitu kemangkrakan hati. Hati mangkrak adalah makanan lezat syaiton. Karena hati mangkrak inilah aneka proyek kebaikan, proyek keselamatan tidak jadi terlaksana. Nafsu besar, tenaga kurang. Omongnya iya-iya, kelakuannya tidak-tidak. Pada diri orang dengan hati mangkrak ini, hidup tak pernah jadi utuh, semuanya bergantung pada mood; kalau lagi sukak aja mau berlaku baik, adil, jujur, dan sebagainya, kalau gak sukak, ya ‘sukak-sukak gue‘.
Mari tilik cerita di balik bacaan kedua. Bacaan kedua adalah suatu katebelece yang dikirimkan Paulus kepada Filemon, yang dibawa oleh Onesimus. Ceritanya sederhana, tetapi mungkin pengalamannya begitu mendalam untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Onesimus ini budak Filemon. Filemon itu tangan kanan Paulus yang sangat disayanginya. Entah bagaimana, Onesimus kabur dari rumah Filemon dengan barangkali membawa barang-barang berharga alias nyolong. Dia kabur ke Roma dan bernasib apes di sana, masuk penjara. Lha, di penjara itulah Paulus, semacam uskup begitu, berjumpa dengan Onesimus.
Cerita punya cerita, Onesimus bertobat karena pewartaan Paulus dan lama kelamaan Paulus tahu bahwa Onesimus ini kabur dari Filemon. Dimintalah Onesimus kembali kepada Filemon dengan katebelece itu. Filemon disodori tantangan: apakah ia mau menerima Onesimus kembali, bukan sebagai budak, melainkan sebagai saudara sendiri sebagaimana Filemon menerima Paulus. Jika hati Filemon mangkrak, tentunya ia tak bisa menerima usul Paulus, tetapi tampaknya itulah yang dibuat Filemon; ia menuntaskan proyek pengampunan dan persaudaraan.
Seorang anak dengan lolipopnya berjalan bersama ibunya. Ia bergandengan tangan sampai di suatu tempat berjumpa dengan seorang anak yang kumuh, yang melihat lolipopnya. Anak ini menahan jalan ibunya dan ia memberikan lolipopnya kepada si anak lusuh itu, yang segera menyambut lolipopnya dengan gembira. Si anak melanjutkan perjalanannya bersama si ibu,”Mah, nanti aku dibelikan lolipop lagi ya.” “Lho, kenapa?” tanya sang ibu. “Ya kan tadi lolipopnya kukasih untuk anak jalanan itu. Boleh kan aku dapat lolipop lagi, yang lebih besar?” Si ibu menggeleng,”Tidak.” Sang anak terkejut,”Kenapa, Mah?” “Supaya pemberianmu itu ada artinya.”
Tuhan, semoga hati kami tak mangkrak dan dapat menjalani hidup dengan totalitas. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXIII B/1
4 September 2016
Keb 9,13-18
Flm 9b-10.12-17
Luk 14,25-33
Minggu Biasa XXIII B/1 Tahun 2015: Mari Belajar Omong
Minggu Biasa XXIII A/2 Tahun 2014: Tsunami Warning
Categories: Daily Reflection