Provokator

Seminggu yang lalu saya mengurungkan seorang anak yang hendak menyalakan satu lilin di altar yang mati tertiup kipas angin saat homili. Dengan sengaja sebelum misa memang kipas angin saya gerakkan supaya tidak secara langsung menyentor saya terus menerus. Sadar dirilah, Brow, badan sudah tua nih, kurang bersahabat dengan angin malam juga dari kipas angin. Dengan eksplisit saya katakan biar saja lilinnya mati, yang lain masih ada yang nyala juga kok, dan yang penting kita percaya bahwa terang Roh Kudus tetap bisa diharapkan bahkan meskipun semua lilin mati. Tentu saja, fokus umat pada Sabda Allah lebih penting daripada ngurusin lilin [lilinnya gemuk po?].

Saya paham betul, pokok persoalan seperti ini tidak dengan mudah bisa ditangkap oleh anak-anak, yang tahunya cuma bahwa lilin mesti nyala, tak boleh mati selama perayaan misa. Saya bisa pastikan anak yang hendak menyalakan lilin itu tidak membaca posting Catatan untuk Seksi Liturgi (5). Kalaupun ia membacanya, mestinya ia tidak menangkap pokok persoalannya. Dan karena ia masih anak-anak [baru lulus SMP], saya bisa memaklumi bahwa ia memelihara paham-paham naif dalam pikirannya. Akan tetapi, jangan salah, paham naif macam itu bisa dipelihara sampai orang bangkotan loh!

Teks bacaan kedua hari ini memberi contoh paham naif orang bangkotan itu. Kisahnya ada dalam konteks liturgi hari Sabat di tempat ibadat dan tentu saja pada hari itu di situ orang-orang Yahudi berfokus pada kebaktian terhadap Allah…. mestinya. Pada kenyataannya, beberapa dari kerumunan orang itu, pecinta ketaatan naif atas aturan (yang jiwanya bergantung pada kualitas hidup orang), malah mengamat-amati kalau-kalau Yesus melakukan penyembuhan (pada hari Sabat! My goodness, itu kan gak boleh!). Tetapi dasar Yesus ya; selalu menarik mengamati cara bertindaknya. Ia tak begitu rempong dengan argumentasi, mungkin juga tak begitu ilfil terhadap pikiran lawan bicaranya tentang kebenaran yang mereka terima secara buta.

Yesus ini provokator juga ya. Bisa jadi dia pernah ketemu orang lumpuh itu di tempat lain sebelum hari Sabat. Lha kok ya golek memala cari gara-gara dengan menyembuhkan orang itu di sinagoga pas hari Sabat?! Dasar provokator!
Ya, tetapi ia tidak sedang berargumentasi, apalagi dengan perasaan-perasaan negatif. Ia hendak menegakkan topangan dari akar yang bengkok, memperbarui suatu agama formal yang hendak mendewakan Tuhan dengan menepis cinta kepada sesama (yang dicipta seturut citra-Nya). Maka, pertanyaannya memang provokatif, menusuk kesadaran orang: di tengah-tengah aturan buatan kepala orang itu, manakah yang diperbolehkan, berbuat jahat atau berbuat baik?

Di kedalaman batinlah orang mesti menjawab pertanyaan itu secara jujur: jika Allah adalah Cinta, tentu punya koinsidensi dengan cinta pada sesama. Koinsidensi ini tak terjadi jika hati orang dipenuhi aneka sampah seperti dimiliki beberapa ahli Taurat dan orang Farisi itu. Maka, mungkin memang orang dewasa perlu menahan lidahnya supaya hatinya tenang dan menenangkan hatinya supaya Roh bisa menyusupkan Kabar Gembira.

Tuhan, mampukanlah kami untuk menguji batin supaya yang tersembunyi di balik kata dan perbuatan kami hanyalah kerinduan pada-Mu. Amin.


HARI SENIN BIASA XXIII
5 September 2016

1Kor 5,1-8
Luk 6,6-11

Posting Senin Biasa XXIII B/1 Tahun 2015: #Kemanusiaan yang Terdampar