Pemandu Bakat

Kalau membandingkan doa tirakatan semalam-malaman Yesus dan orang-orang yang dipilihnya sebagai rasul pada siang harinya itu, rasa-rasanya kok gak cucuk ya. Para rasul itu bukan orang-orang brilian, bukan pemegang paten, bukan sosok yang disukai publik, bukan pula orang yang setia. Sebagai tim, rasa-rasanya dua belas orang pilihan Yesus itu ya cuma gitu doang. Jangan-jangan memang doa Yesus itu gada gunanya karena cuma menghasilkan pilihan orang yang biasa-biasa aja, kalau tidak mau disebut ancur.

Anyway, Liga Inggris musim lalu memunculkan juara baru, sebuah tim yang tidak bertaburan pemain bintang dan selalu kalah dari Arsenal (hahaha… maksud lo?). Kok bisa ya tim dengan pemain rata-rata malah menjuarai ajang bergengsi di Inggris itu?Tanya kenapa.

Kata-kata Pablo Picasso nongol lagi dalam benak saya: The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away. Ini bisa jadi dipahami secara sempit sebagai menemukan bakat atau harta yang diterima sebagai anugerah, lalu membagikannya kepada orang lain. Itu memang ada benarnya, tetapi bukan segala-galanya, seolah-olah kalau kita memberikan recehan atau cek atau bakat kita itu berarti kita sudah menemukan dan membagikan anugerah Tuhan. Itu hanyalah indikator superfisial yang butuh diverifikasi lagi misalnya dengan ketulusan dalam memberikan ini itunya.

Yang jauh lebih eksistensial ditunjukkan oleh Yesus sendiri: ia menerima hidupnya sebagai anugerah dan memberikan hidupnya itu kepada dunia. Ini bukan lagi soal minta bantuan pada psikotes atau pemandu bakat: ini soal relasinya dengan Pemandu Hidup. Relasi dengan Pemandu Hidup itu dibangunnya dengan doa yang sirius dan ia tidak cuma bernyaman-nyaman di pucuk gunung dalam doanya, tetapi kemudian turun gunung untuk merealisasikan tujuan hidupnya: to give it away, memberikan hidupnya.

Konkruen dengan itu, para rasul yang dipilihnya juga mengikuti pola yang sama: menerima diri mereka yang dipilih Yesus sebagai anugerah, dan memberikan diri mereka kepada kehidupan ini. Kalau begitu, poinnya jelas bukan pertama-tama soal seberapa banyak harta yang disumbangkan, melainkan seberapa dalam relasi dengan Pemandu Hidup itu menggerakkan diri orang untuk menyumbangkan, memberikan dirinya (termasuk juga bakat atau hartanya sih). Jadi, kriterianya bukan besaran sumbangan, capaian prestasi, atau kenaikan pangkat atau jabatan, melainkan sejauh mana keterlibatan itu muncul dari relasi pribadi dengan Pemandu Hidup tadi.

Ini adalah berita yang melegakan untuk mereka yang menganggap bakat hanyalah mitos (karena yang umumnya disebut bakat hanyalah hasil repetisi latihan tertentu), atau yang sampai uzur tidak menemukan bakatnya, atau yang merasa diri tak punya apa-apa yang bisa disumbangkan kepada orang lain. Yang perlu di-give it away bukan lagi bakat atau harta, melainkan hidupnya sendiri; seberapa jauh ia terlibat dalam rekayasa hidup yang akomodatif bagi semua orang, sejauh itulah ia memberikan dirinya.

Ya Allah, semoga kami semakin mampu melihat diri kami sebagai anugerah-Mu dan memberikannya kepada dunia. Amin.


SELASA BIASA XXIII
6 September 2016

1Kor 6,1-11
Luk 6,12-19

Posting Selasa Biasa XXIII Tahun 2014: Pengikut Kristus Gak Mutu