Senjata Cinta

Dengan analisis struktural terhadap kisah hari ini dapatlah diketahui bahwa subjek kisahnya ialah si perwira. Dia ingin budaknya sembuh dari sakit. Dia tentu sudah mendengar kisah tentang kemampuan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, maka ia mencarinya. Setelah bertemu, ia ajukan permohonannya dan  Yesus itu sudah angkat pantat (entah ditaruh di mana) untuk pergi ke rumah si perwira itu. Akan tetapi, si perwira menolak karena merasa diri tak pantas dan ia punya keyakinan bahwa kesembuhan itu bisa terjadi sebagaimana ia hidupi sehari-hari: dengan perintah A kepada bawahannya, terjadilah A; dengan sabda B kepada bawahannya, B itu jadi kenyataan.

Yesus menyatakan keheranannya terhadap cara bersikap perwira itu: ini malah sikap yang tak dijumpai pada orang-orang beragama Yahudi saat itu! Karena sikap perwira itulah justru Yesus mengungkapkan visionnya bahwa manusia dari segala penjuru akan mengalami kebersamaan dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Maksudnya, kelak akses keselamatan itu tak hanya jadi eksklusif milik Abraham, Ishak, Yakub, dan kroco-kroconya yang main klaim bahwa hanya keturunan mereka atau agama merekalah yang bakal diselamatkan.

Menariknya, dalam potongan kisah yang ditawarkan Gereja Katolik hari ini, kisah kecil itu tak berakhir dengan sembuhnya budak si perwira dari kelumpuhan. Kisah berakhir dengan visi yang disampaikan Yesus. Meskipun demikian, subjek kisah atau protagonisnya tetaplah si perwira, karena dia yang punya ‘kompetensi’ untuk mencari kesembuhan bagi budaknya. Ia bahkan menentukan apa yang perlu ditindakkan Yesus.

Siapa yang jadi penerima kesembuhan dalam kisah kecil itu? Sejauh dikatakan dalam teks, objek penerimanya adalah budak, bukan si perwira. Akan tetapi, dari analisis lain bisa dipahami bahwa selain budak, si perwira itu sendiri juga jadi penerima kesembuhan. Kok isa?

Perwira Romawi itu identik dengan power yang terepresentasikan juga dalam senjata. Dengan itu ia bisa memaksa orang untuk melakukan apa yang dia inginkan. De facto, ia mendesak Yesus untuk tidak melanjutkan niatnya datang ke rumahnya, tetapi desakan itu tidak muncul dari powernya. Itu juga mengapa ia qualified sebagai subjek kisah kecil itu: ia menentukan alur cerita. Andaikan ia membiarkan si Yesus datang, tentu takkan ada komentar “Tak pernah kujumpai iman sebesar ini di antara orang Israel”.

Si perwira sukses. Terjadi kesembuhan saat ia menyadari diri ‘tak layak’. Ini bukan ekspresi rendah diri. Dia punya power, tetapi kesuksesannya terjadi bukan karena dia menggunakan power (senjata), bukan karena dia melakukan kekerasan, melainkan justru karena ia menanggalkan senjata. Ia menanggalkan pendekatan dengan kekerasan. Itu simpatik [de facto bisa jatuh korban di pihak aparat keamanan]. Konon, kata Martin Luther King: hanya dengan penanggalan senjatalah, atas dasar keyakinan iman, saling percaya akan jadi kenyataan hidup.

Itu mengapa ada wilayah-wilayah konflik yang begitu abadi: karena orang menggantungkan hidupnya pada senjata, lebih daripada cinta.

Tuhan, mohon rahmat untuk berpantas diri di hadapan-Mu, bukan dengan senjata, melainkan dengan cinta.


SENIN ADVEN I A/1
28 November 2016

Yes 2,1-5 / Yes 4,2-6
Mat 8,5-11

Posting Tahun 2014: Kamu Sakit Apa?