Ada satu meme yang menggambarkan debat cagub dalam acara yang dipandu oleh Najwa Shihab kemarin dulu. Bunyinya begini: Ahok mikirin Jakarta, Anies mikirin Ahok. Ada betulnya juga ya, tetapi saya takkan mengulas debat antara dua orang yang ambisius untuk jadi gubernur itu (meskipun yang satu sekurang-kurangnya secara verbal tampak lepas bebas, detach terhadap jabatan itu). Meme itu muncul ketika saya mengimajinasikan bacaan yang disodorkan hari ini. Bacaan hari ini merupakan pembelaan diri Yesus dalam ‘perang’ terbuka yang semakin nyata dengan ahli-ahli agama.
Pada hari sebelum kemarin dulu dibacakan kisah penyembuhan orang buta sejak lahir dengan ludah dan tanah. Orang Farisi sibuk dengan persoalan siapa yang menanggung dosa: orang itu sendiri atau orang tuanya. Yesus memikirkan sesuatu yang lebih advanced: entah dosa orang itu sendiri atau orang tuanya, yang penting keselamatan Allah diwartakan, pun jika itu hari Sabat, jelas karena keselamatan Allah lebih penting daripada aturan hari Sabat (yang ironisnya dibuat untuk memperoleh keselamatan Allah).
Kemarin dikisahkan penyembuhan orang lumpuh juga pada hari Sabat. Lha ya memang ini proxy war *eh kok jadi latah sama bang Rhoma. Ini terang-terangan Yesus menunjukkan paradigma yang berlawanan dengan paradigma ahli agama waktu itu. Paradigma cinta versus paradigma hukum manusia. Siapa pemenangnya? Paradigma cinta? Enggak, paradigma cinta digilas oleh persekongkolan hukum manusiawi. Apa berarti paradigma cinta itu kalah? Ya gak juga sih. Tepatnya mungkin dalam jangka pendek paradigma itu tertindas, tetapi dalam jangka panjang kekuatan cintalah yang bertahan.
Hari ini ditegaskan kembali pembelaan diri Yesus yang poinnya ialah kualitas cinta yang menyatukan Allah dan manusia. Paradigma hukum manusiawi menganggap hal ini adalah skandal dan hujatan besar, sama seperti kalau sekarang muncul orang yang mengklaim diri sebagai Tuhan. Tentu dari perspektif Kristiani berbeda karena peristiwa Yesus tak punya preseden dan pengikutnya kemudian pun paling banter hanya menderita sampai mati tanpa kelanjutan yang terekam dalam sejarah. Sedangkan mengenai Yesus, orang Kristiani memercayai kematian dan kebangkitannya sebagai indikasi adekuat bahwa Cinta ilahi dalam dirinya bersifat paripurna.
Sebagaimana Yesus tak menaruh perhatian besar pada persoalan yang disodorkan ahli agama mengenai dosa siapa, begitu pula tak perlu diributkan apakah kepercayaan orang Kristiani sesat atau tidak: yang penting keselamatan Allah diwartakan. Keselamatan Allah itu tak lain dan tak bukan adalah pertobatan, dan pertobatan, pada intinya, bukanlah persoalan legalistik mematuhi aturan-aturan yang diramu manusia, melainkan persoalan move on dalam menebarkan kekuatan Cinta yang memerdekakan, bukan yang bikin orang ketagihan alias malah mengalami ketergantungan.
Cinta macam itu tak pernah berangkat dari kekuatan manusia dan itulah yang ditegaskan Yesus hari ini. Tanpa Cinta Allah, ia tak berbuat apa-apa, dan itulah artinya ia dan Bapanya itu satu. Kalau orang menganggap ini hujatan atau penistaan, dapatlah dimengerti mengapa orang-orang itu hanya mengumbar insting hewani dalam pilgub, misalnya, karena tak memberi tempat pada hadirnya Cinta dalam hidup manusiawi.
Ya Tuhan, semoga kami pun mampu menampung kedahsyatan Cinta-Mu dalam kerapuhan dan keterbatasan kami. Amin.
HARI RABU PRAPASKA IV
29 Maret 2017
Posting Tahun 2016: Mari Menggambar Allah
Posting Tahun 2015: No God without Love
Posting Tahun 2014: Stay Focused
Categories: Daily Reflection