Lebih Baik Absen

Di hadapan Tuhan, semua orang sama: pendosa. Entah pendosa ringan-berat, kecil-besar, sedikit-banyak, pokoknya pendosa. Begitu juga di hadapan hukum, semua orang sama, tetapi karena masyarakat punya kepentingan, ada pembedaan antara orang yang melakukan kesalahan ringan-berat, kecil-besar, sedikit-banyak. Ya itulah bedanya antara Allah yang hendak menjadi Tuhan bagi semua orang dan manusia yang hendak menjadi Tuhan bagi manusia lainnya. Ya tentu rada lebay sih pembandingannya; mosok Allah dibandingkan manusia, gak level dong.

Akan tetapi, apa relevansi pembandingan itu? Kalau memang tak boleh dibandingkan, bukankah kita pasrah saja pada kenyataan bahwa yang namanya hukum manusia itu ya pasti begitu: yang kesalahannya besar dihukum berat, bahkan untuk sebagian masyarakat sampai pada keputusan hukuman mati? Kalau harus dipisahkan antara hukum Allah dan manusia itu, bukankah kita terima saja namanya hukum manusia itu ya bisa jadi disusupi konflik kepentingan dan permainan politik yang menjijikkan? Politik menjijikkan dengan membawa nama Tuhan dan agama terjadi tidak hanya belakangan ini saja. Sudah sejak zaman Perjanjian Lama itu terjadi.

Bacaan pertama hari ini yang panjang itu mengisahkan bagaimana Daniel membongkar intrik busuk laki-laki hidung belang terhadap Susana. Ini juga tak usah dihubung-hubungkan dengan debat paslon dua dan tiga yang membuka mata penonton dan pendengarnya lebar-lebar mana yang memberi kesaksian palsu, mana yang memakai data palsu. Tidak ada hubungannya selain sebagai contoh saja, hahaha. Tapi sudahlah, kepentingan saya tidak terletak pada persoalan kegemasan yang timbul karena ada paslon yang tak berani berhadapan dengan paslon lainnya di televisi.

Kepentingan saya ada pada persoalan bagaimana Daniel memperoleh kebijaksanaan untuk membongkar kasus pelik itu. Kenapa pelik? Karena melibatkan tokoh agama yang dipercaya masyarakat. Namanya tokoh agama itu ya pasti memberi kesaksian yang benar dong. Pasti hidupnya sesuai dengan hukum Tuhan dong. Jadi gak boleh masyarakat menyangsikan tokoh agama yang jadi panutan mereka sendiri. Kalau panutan malah berbohong, korup, tipu-tipu, siapa lagi yang mesti diteladani? Yaaaaa justru itulah persoalannya! Dari mana bisa dijamin bahwa tokoh agama, semayoritas apapun pengikutnya, punya integritas yang konsisten?

Langkah Daniel sederhana tapi jadi prinsip dalam sidang: memisahkan saksi. Keterangan berbeda dan bertentangan dari dua saksi itu menjelaskan bahwa kesaksian mereka palsu. Entah dari mana ide Daniel itu kalau bukan dari kecerdasan yang dikaruniakan kepadanya. Kecerdasan itu juga ditunjukkan Yesus yang mengingatkan pendengarnya pada teks Yeremia (17): Barangsiapa yang undur dari pada-Ku itu tersuratlah namanya dalam tanah, karena mereka itu sudah meninggalkan mata air hidup, yaitu Tuhan. “Barangsiapa” itu siapa sih? Ya itu tadi ditulis di awal: di hadapan Tuhan, semua orang sama-sama pendosa. 

Catatan lainnya saya temukan dari yang dikatakan seorang tokoh agama di TV tadi malam. Kesaksian hidup tokoh agama itu sendiri tak menarik saya karena statusnya sebagai penghayat poligami, tetapi saya tertarik pada ayat suci yang dia kutip yang intinya ialah Allah lebih menghendaki pertobatan orang berdosa (daripada kehancurannya). Lha rak tenan, memang ini masa tobat kok.

Ya Allah, mohon rahmat pertobatan yang mengikatku pada-Mu. Amin.


HARI SENIN PRAPASKA V C/2
3 April 2017

Dan 13,1-9.15-17.19-30.33-62
Yoh 8,1-11

Senin Prapaska V C/2 2016: Jadilah Anak-Anak Terang
Senin Prapaska V B/1 2015: Dasar Koruptor!

Senin Prapaska V A/2 2014: Kemurahan Hati Menuntut Pertobatan

2 replies