Kemarin sempat saya sampaikan apresiasi terhadap pasangan manten yang melangsungkan upacara pernikahan. Proficiat, hari gini masih berani membuat komitmen. Memang begitulah. Cinta lebih dari sekadar sayang-sayangan atau roman-romanan. Ini adalah soal komitmen, yang berarti adalah soal memilih, soal mengambil keputusan, soal menentukan mana yang jalan yang hendak diambil dan konsisten dengannya.
Pada hari yang sama di kelas saya dapati pertanyaan menggalaukan soal pernikahan dengan ateis. Kalau itu terjadi tentu tak jadi sakramen perkawinan dalam Gereja Katolik karena jelas pasangannya bahkan tak mengakui eksistensi Allah. Pihak yang beragama tentu akan mengalami kesulitan kelak dalam hidup perkawinannya untuk sungguh-sungguh menjalani hidup sebagai peziarahan kepada Allah sendiri.
Yang menarik perhatian saya bukan problem administratif perkawinannya, karena itu bisa dibuat seperti kalau orang Katolik menikah dengan orang non-Katolik. Tak ada masalah besar jika memang relasi antarpasangan itu berlangsung secara manusiawi dan tak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Yang menarik bagi saya justru adalah soal komitmennya. Bagaimana mungkin seorang ateis bisa menginginkan perkawinan sebagai pelembagaan hidup beragama? Kalau itu terjadi, si ateis sendiri tidak benar-benar berkomitmen sebagai ateis, tetapi oportunis.
Ngeri deh orang married dengan pasangan yang oportunis: colek sana colek sini, menebar benih sana sini. Kalau begitu kan lembaga perkawinan itu tak punya relevansi. Kalau gak relevan, ngapain juga merepotkan diri untuk memperhatikannya. Kawin ya kawin, cerai ya cerai, selingkuh ya selingkuh, digugat ya tinggal menang atau kalah aja toh selesai! Tidak dibutuhkan komitmen di situ, sebagaimana ateisme tak punya komitmen mengenai kenyataan bahwa hidup ini ada penciptanya.
Perintah yang disodorkan dalam bacaan hari ini menyinggung ranah komitmen juga yang ditunjukkan dalam konjungsinya: jika kamu mengasihi aku, kamu akan menuruti perintahku. Dengan kata lain, orang baru bisa mengklaim cinta kepada Tuhan kalau ia memang menjalankan perintah-Nya. Ini soal pilihan dan dengan begini juga, perintah Tuhan itu berfungsi seperti obat yang menanti keputusan calon peminum atau pemakannya. Ateis tak menaruh kepercayaan pada hal ini dan kalau ia cuma mau terima enaknya, ia jadi oportunis tanpa komitmen. Mbok kalau jadi ateis tuh ya serius gitu jadi ateisnya, jangan setengah-setengah, malah jadi gak jelas kan mau ngapain dengan hidupmu, dan kalau gak jelas gimana bisa enjoy dengan hidup ini selain mengandalkan slogan ‘hidup mengalir saja’.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami mampu memegang teguh cinta-Mu sebagai landasan hidup kami. Amin!
HARI MINGGU PASKA VI A/1
21 Mei 2017
Kis 8,5-8.14-17
1Ptr 3,15-18
Yoh 14,15-21
Posting Tahun 2014: Haji Heribertus
Categories: Daily Reflection
halo romo…
terlepas dari ilustrasi ttg atheis yg mengesankan .. ada suatu pernyataan diatas “orang baru bisa mengklaim cinta kepada Tuhan kalau ia memang menjalankan perintah-Nya”.. bila demikian apakah Tuhan sedemikian menuntut ? bagaimana dg kehendak bebas manusia yg diberikan Tuhan? bukankah Tuhan maharahim? …mungkin tdk sesuai konteks dan.begitu dangkal refleksi sya.. trimakasih bila romo berkenan menanggapi.. berkah dalem.
LikeLike
Saya kira persoalannya bukan apakah Tuhan itu mengekang kebebasan manusia atau tidak, melainkan apakah manusia menangkap azas dan dasar hidupnya, yaitu cinta kepada Allah yang tertera dalam perintah-Nya (yang tentu terus perlu dicari dari waktu ke waktu bagi setiap orang, dalam dialog juga). Kiranya bisa diparalelkan dengan cerita kapal perang itu: https://versodio.com/2015/04/28/kebijakan-nan-arogan/
Kapten mercusuar tentu tidak menuntut kapten kapal perang dalam arti menghapus kebebasan kapten kapal perang. Kapten kapal perang ini bebas kok mau memilih lurus atau menggeser haluan. Salam.
LikeLike