Reuni Tolol

Barangkali Anda pernah mengikuti acara reuni dan dari materi perbincangan reuni itu bisa ditengarai sampai tahap mana hidup Anda. Tetapi saya tak akan merincinya di sini karena memang pokok bahasan hari ini bukan soal reuni, meskipun judulnya reuni tolol. Jangan salah paham, tidak ada reuni tolol, yang tolol ya orang-orang yang melakukan reuni, apa pun labelnya. Tentu tidak semua orang yang melakukan reuni itu tolol. Hanya sebagian saja. Soal apakah itu sebagian besar atau kecil, bergantung pada surveinya, dan itu di luar kompetensi saya. 

Anda pasti lupa ilustrasi mengenai telur dan lada dalam salah satu posting pada blog ini (Agama Tak Menjamin Moral, Ngapain Beragama?). Itu ilustrasi sederhana untuk menunjukkan ketololan orang yang tak punya kesadaran diri sehingga suka sekali playing the victim. Bikin problem sendiri tetapi menyalahkan apa saja di luar dirinya. Saya tidak akan memberi contohnya di sini; sudah pating tlècèk orang yang senang membolak-balikkan fakta untuk kepentingan politik menjijikkan. Maling bisa teriak maling atau juga meneriakkan ‘maling teriak maling’, dan itu tentu bisa bikin kacau… dan tentu saja, yang bikin kacau ini bisa berkoar-koar bahwa kondisi bangsa sedang kacau😂 sementara teman persekongkolannya tinggal mengatakan ‘tenang saja’, eaaa….

Teks hari ini, yang adalah pengulangan dari beberapa bacaan seminggu terakhir ini, sebetulnya juga melakukan pembalikan, tetapi karena yang disasarnya bukan kepentingan politik, pembalikan itu beda sekali dari slogan mereka yang playing the  victim. Bagaimana pembalikannya?
Masa Adven dalam perspektif agama Katolik adalah masa persiapan Natal. Kalau persiapan Natal, yang adalah peristiwa kelahiran, kok malah bacaannya merujuk pada zaman akhir? Bukankah sudah jamak bahwa orang beragama mengerti tanda-tanda kiamat dengan aneka macam kekacauan?

Betul, dan justru di situlah letak pembalikannya. Kekacauan yang jadi tanda hari akhir itu bagi umat beriman adalah ajang untuk mengangkat mukanya, berani meretas kekacauan itu dan tidak golput begitu saja.
Lah, bukannya dorongan perubahan itu diserukan juga oleh oknum di tempat pelariannya sana? Betul, tetapi seruan untuk perubahan itu tidak dilandasi kesadaran diri yang saya sebut tadi. Ini bukan seruan orang yang rumangsa bisa alias sok merasa bisa, melainkan seruan orang yang bisa rumangsa alias sensitif terhadap sebanyak mungkin faktor yang memungkinkan terjadinya kekacauan itu.

Dengan kata lain, seruan untuk perubahan itu tak ada artinya jika keluar dari mulut orang yang senang dengan playing the victim, yang lari dari tanggung jawab, yang banci dalam arti ‘maling teriak maling’ itu.
Orang beriman tak lagi umuk dengan kuantitas maupun jasa diri atau kelompoknya, yang bisa jadi malah menunjukkan mentalitas preman. Saya kira Anda mengerti apa artinya ‘uang keamanan’ yang mesti dibayar supaya orang tidak berbuat jahat [kalau gak bayar uang keamanan, kami tak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa terhadap properti Anda]. Betapa menyedihkannya jika umat beriman menghidupi keagamaan ala preman begitu. 

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami semakin jernih untuk membedakan mana gerakan-gerakan yang sungguh memuliakan agama dan bangsa dan mana gerakan kekuasaan yang bersembunyi di balik nama besar agama. Amin.


HARI MINGGU ADVEN I C/2
2 Desember 2018

Yer 33,14-16
1Tes 3,12-4,2
Luk 21,25-28.34-36

Posting 2015: Manusia Potensial Allah