Determinasi

Kalimat penutup ulasan olah raga di salah satu media nasional kemarin sangat mengejutkan saya. Bahwa juara dunia ganda putra 2019 adalah pasangan Ahsan/Setiawan tidaklah mengejutkan saya karena melihat kematangan mereka (sok matêng lu Mo). Akan tetapi, bahwa atlet badminton sekarang hanya berlatih kalau ada pelatih alias tak menempa diri tanpa pelatih sungguh-sungguh mengejutkan saya. Ini soal determinasi, yang rupanya tak bisa diukur semata dengan piala atau medali (tetapi memang bisa membuahkan piala atau medali).

Tidak semua orang suka dibanding-bandingkan, terutama kalau diposisikan lebih buruk, tetapi kalimat penutup ulasan tadi adalah perbandingan antara generasi sekarang dan tentu saja generasi sebelumnya. Kesenjangan generasi memang kerap jadi problem, bukan hanya soal regenerasi, melainkan juga komunikasi, yang bisa menentukan prestasi, tetapi juga iman yang dihidupi.

Metafora yang dipakai Guru dari Nazareth hari ini mungkin bisa dipakai juga untuk memahami kesenjangan generasi itu. Mereka yang disinggungnya adalah keturunan pembunuh para nabi, yang toh memperindah makam para nabi itu bahkan membangun tugu-tugu peringatan para pendahulu yang hidupnya inspiratif. Kenapa Guru dari Nazareth menyinggung mereka? Bukankah baik memperindah makam dan mengingat keunggulan tokoh inspiratif masa lalu?

Betul, itu baik. Problemnya, ahli agama itu dengan arogannya mengatakan bahwa yang jelek-jelek di masa lalu itu tak akan mereka lakukan jika mereka hidup pada masa para nabi itu. Dengan kata lain, mereka tak akan membunuh para nabi. Tapi apa daya, mereka tahunya orang-orang itu adalah nabi setelah mereka membunuhnya, dan itulah yang dilakukan nenek moyang mereka! Jadi, baik nenek moyang maupun cucu moyang ya sama-sama arogannya, dan orang-orang arogan macam beginilah yang membuat tugu peringatan, patung, makam, apa saja, jadi berhala bin idol.

Loh tadi bahas apa je kok nyampe ke berhala segala, Rom? Oh iya, tadi omong soal kesenjangan generasi ya, kok jadi nyangkut-nyangkut berhala.
Gak salah-salah amat sih, karena penyembah berhala memang menyembah wujud, patung, nisan, dan sejenisnya, dan persis inilah yang membuat kesenjangan generasi. Sudah saya singgung kan dalam posting Salam Pandir bagaimana orang galfok salah target?

Ini bukan soal generasi dahulu lebih hebat daripada generasi sekarang, atau sebaliknya. Ini soal absennya pelestarian determinasi.
Ya sama aja Rom itu kan artinya juga generasi dulu lebih hebat daripada generasi sekarang karena determinasinya terlihat dari bagaimana mereka berlatih. Dulu atlet mau latihan ekstra tanpa pelatih, sekarang gak mau.
Ah, ya gak juga. Bisa jadi atlet sekarang determinasinya tetap tinggi, cuma fokusnya terbagi-bagi dan keterbagi-bagian fokus ini tidak ada dalam kultur generasi yang dulu karena adanya cuma tivi hitam putih dan Taman Impian Jaya Ancol!

Ulasan olah raga kemarin itu, syukurnya, tidak mengatakan generasi dulu lebih baik, tetapi justru menunjukkan tantangan pelatih zaman sekarang. Lha piye jal kalau pelatihnya pakai pendekatan generasi dulu? Dulu orang dipelototin dah ngerti kudu ngapain. Sekarang dipelototin malah jatuh cinta, gimana… 

Kritik Guru dari Nazareth berlaku juga untuk generasi yang tak berjiwa, yang tak belajar dari substansi pengalaman masa lalu dan cuma nebeng nama besar masa lalu, dan malah melanggengkan hal yang notorious. Celakanya, nama besar itu juga bisa berarti agama.

Tuhan, mohon rahmat untuk memelihara api cinta-Mu dalam setiap pekerjaan kami. Amin.


RABU BIASA XXI C/1
Peringatan Wajib S. Augustinus
28 Agustus 2019

1Tes 2,9-13
Mat 23,27-32

Rabu Biasa XXI B/1 2015: Roman Collar, Wow…

5 replies

  1. Helo Rm Andre. Ikutan nyimak & komen ya. Soal generasi lalu vs kini dlm OR, setuju bahwa seiring berubahnya waktu, receptive mode dan norm yg hidup dalam society juga akan berubah. Rm udah highlight distractions jaman skrg, kayak dl diplototin pelatih udah nangkap, sekarang anak didik akan plototin balik (kalau jadi jatuh cinta krn plotot2an: itu side effect nya Mo🤣) atau malah ngambek, wajar lah. Anak sendiri di rumah jg gitu kok hehe. Kadang ortu omong sebaris, dibalas dg litani satu paragraf nyebelin tp ya ngangenin jg hehe. Yg pasti lawan2 yg ada juga makin Jago2. It takes two to tango, jadi ya benar kata Rm kl pelatih dan pemain harus progresif dan menyesuaikan. Lalu soal kritik guru Nazareth tsb soal iman pengikut agama masa kini, kan kita setia dg magisterium Mo, kalau terlalu progresif bisa keluar ajaran new age dong. Kalau ini saya agak ngasal hehe tp intinya memang kita harus selalu bijak bahkan dalam hidup iman kita. Tadi sambil baca tulisan Rm langsung keingat citation Rumi ini “Yesterday I was clever, so I wanted to change the world. Today I am wise, so I am changing myself” puitis tp cocok kayaknya😊🙏 Berkah Dalem.

    Like

    • Halo Bu, iya ya memang mesti setia pada magisterium. Tapi bukannya magisterium itu juga progresif ya? Iya gak sih? 😂 Balik ke creative fidelity deh.

      Like

  2. Magisterium itu kayaknya baru bbrp dekade terakhir aja deh progresif nya, kl gak salah sejak Konsili Vatikan ke 2 kan? Kok aku kek yg lebih tahu dr yg udah Rm ya hehe maap maap🤣 But that’s the reward of loving to read (& keeping the necessary information in mind). Yo wis lah aku ingatnya mang sejak KV ke 2 itu, diijinkan inkulturasi misa dll, but the Magisterium stays. Correct me if I am wrong. Kalau gak salah ingat lagi, Rm Andre jg pernah mengkritisi soal minor revisions on TPE yg disambut dg “gegap gempita” oleh pembaca2 blog Rm ini. Wow baca rata2 komen2nya nya yg agak2 gimana gitu, ikutan setress saya🤤. Jadi benarkah Magisterium gereja kita sungguh2 progresif? Ya semoga akhirnya benar2 pd ngerti makna Creative Fidelity yg Rm tulis itu🙏

    Like

    • Iya Bu’, KV II memang revolusi kopernikan, meskipun praktiknya blm sungguh menggigit. Laudato Si’ itu progresif banget, smp tak sedikit yg menentangnya, justru karena menguak kenyataan sebenarnya.

      Like

  3. Jadi nge googling deh Laudato Si’ itu apa, pernah baca termnya tp udah lupa2 ingat. Ternyata Ensiklik Bapa Suci thn 2015 lalu (ingatnya malah yg thn 2017 yg kalau gak salah ttg keluarga). Sekilas baca itu semacam directives yg umum banget ya sampai nyenggol yurisdiksi di luar otoritas gereja termasuk mungkin ethical business practices. No wonderlah kalau Rm bilang banyak tantangan. Meski benar kalau itu jd tanda bahwa gereja juga makin membumi & peduli lewat isu2 yg dibahas di Ensikli tsb, semoga border line antara urusan gerejawi dan duniawi ini tidak jadi overly tumpang tindih Mo. Belakangan ini jg baca kl banyak suara (termasuk org2 dalam sana) yg mengkritisi Vatikan sendiri supaya bisa progresif secara internal terutama di ring terdekat dg Uskup Vatikan alias Bpk Paus kita. Ya udah sih umat hanya lay people, bisa nya ngamati dan mendoakan🙏

    Like