Sudah beberapa tahun belakangan ini saya merasa grěgětan, rasanya ingin turun ke jalan memprotes kinerja wakil rakyat yang nyinyirannya (kalau itu bisa dianggap sebagai kinerja) tak berdampak positif pada transformasi masyarakat. Tapi bisa Anda bayangkan toh, kalau sendirian turun ke jalan, paling-paling itu saya lakukan untuk menyeberang jalan. Sejak menjelang pilpres lalu juga gěměs karena mahasiswa tak bergerak mengantisipasi polarisasi warga dengan basis agama. Padahal, polarisasi karena agama itu sebetulnya malah paling rawan bagi keutuhan NKRI. Coba saja lihat sejak masa kemerdekaan yang sampai sekarang masih meributkan tata pemerintahan NKRI, pasti bawa-bawa bendera agama, bukan suku atau ras. Akan tetapi, kalau mau memprovokasi mahasiswa kok gimana gitu ya.
Nah, jebulnya mahasiswa bergerak kok ya pas menjelang masa bakti wakil rakyatnya selesai dan presidennya mau dilantik jadi presiden lagi gitu loh. Tapi ya gak papa toh daripada tidak sama sekali ya? Yang penting waspada saja terhadap gerombolan parasit demokrasi sebagaimana disebut dalam berita ini, yang barangkali bisa dilekatkan pada mereka yang kumpul bareng membahas pelengseran Jokowi seperti tertera dalam berita ini, atau parasit lain yang bawa-bawa agama untuk kekuasaan tadi. Kalau abai terhadap persoalan ini, bisa jadi malah kontraproduktif.
Soal keabaian seperti ini senantiasa ‘dirayakan’ dalam ibadat Gereja Katolik, yang senantiasa diawali dengan pendisposisian diri anggotanya (yaitu pemimpin dan umatnya) sebagai pendosa yang membutuhkan kerahiman Allah. Penggalan rumusannya: Saya mengaku kepada Allah yang mahakuasa dan kepada Saudara sekalian bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Kelalaian itu adalah keabaian, dan ini yang belakangan kerap dipertontonkan. Orang abai terhadap legitimasi presiden, lantas menurunkan foto presiden, menyerukan pelengseran presiden, dan sebagainya. Nanti kalau tertangkap ya minta maaf, gitu aja kok repot. Akan tetapi, di balik itu ada keabaian lain yang parah, yang mengobjekkan orang lain, yang menganggap apa saja yang berbeda sebagai barang yang bisa ditaklukkan dengan kekuasaan.
Ada program presiden sekarang ini yang bisa jadi contoh aplikasi teks bacaan hari ini, yaitu ide besarnya untuk membuat seluruh wilayah NKRI ini terhubung, sebagaimana almarhum Habibie punya ambisi besar membuat proyek pesawat untuk mendukung konektivitas itu. Tak perlu dinyinyirkan, pasti ada dampak atau kondisi kultural yang harus dipertimbangkan, dan bisa jadi ide besar tadi tak tersokong oleh langkah-langkah konkretnya karena kompleksitas persoalan yang ada. Akan tetapi, ide besar itu tak perlu diabaikan, apalagi dihancurkan demi kepentingan kekuasaan sesaat, bukan?
Saya ingat bahwa kota Venezia itu rupanya terdiri dari begitu banyak pulau yang dihubungkan dengan banyak jembatan; seakan-akan pemisah pulau itu hanya sungai, tetapi itu sebetulnya adalah laut, wong memang kota itu letaknya di teluk. Di bagian kota Venezia itu, tak satu pun pulau yang tak terhubung dengan jembatan. Tak ada pulau yang terasing. Ya ada pulau yang jauh, tapi sangat mudah dijangkau dengan perahu motor.
Barangkali orang sekarang perlu menelisik ideologinya: apakah mengabaikan mereka yang punya perbedaan, atau malah menjangkau mereka supaya kesejahteraan umum bisa digapai bersama. Teks bacaan hari ini mengusulkan yang kedua.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami tak abai terhadap kepentingan bersama. Amin.
MINGGU BIASA XXVI C/1
29 September 2019
Am 6,1a.4-7
1Tim 6,11-16
Luk 16,19-31
Categories: Daily Reflection