Re-centering

Kadang dalam penggunaan peta online, Anda perlu memilih opsi re-center untuk menempatkan perspektif yang lebih luas supaya orientasi Anda terbaca dengan baik. Hayo ngaku! Tak cukup orang diberi tahu belok kiri-kanan atau dilarang mampir ke rumah janda (dengan segala hormat kepada para janda). Orang mungkin butuh tahu arah utara-selatan atau letak warung swalayan, dan sebagainya, untuk lebih memudahkan orientasi sampai ke tujuan. Re-center membantu orang untuk melakukan reorientasi.

Re-center yang disodorkan dalam bacaan kemarin mengingatkan agama untuk mengidentifikasi diri dengan Lazarus, kaum papa-mama miskin, jadi agama kaum miskin. Jangan salah. Ini bukan pertama-tama kumpulan orang-orang yang secara finansial miskin, melainkan kumpulan orang-orang yang menempatkan kaum miskin sebagai fokus. Jangan salah lagi. Ini bukan pertama-tama soal menjual seluruh harta milik dan memberikannya kepada orang-orang miskin sehingga mereka jadi kaya dan Anda jatuh miskin. Belum tentu mereka yang jadi kaya mendadak tadi akan menjual hartanya dan memberikannya kepada Anda! Ha njuk kapan selesainya lingkaran jual harta memberikannya kepada orang miskin itu dong?😂😂😂 

Itu selesai ketika orang tak lagi memakai konsep hak milik pribadi dan ini baru dimungkinkan jika orang melakukan re-center tadi: bahwa kekayaan yang ada padanya senantiasa mengabdi kepada kepentingan yang tidak diskriminatif atau menempatkan orang miskin pada martabatnya. Jadi, apakah perangkat musik yang saya miliki saya pakai untuk aksi sosial menghibur para korban gempa atau gunung meletus, Rom? Itu cuma salah satu kemungkinan. Konser amal? Pendapatannya disumbangkan untuk kaum miskin? Itu juga cuma salah satu kemungkinan. Yang penting, kekayaan dipakai sedemikian rupa sehingga jurang kemiskinan itu tidak jadi struktur atau pola yang menempatkan orang tertentu jadi korban ketidakadilan.

Teks bacaan hari ini menyodorkan re-centering dengan identifikasi agama dengan anak-anak. Prinsipnya sama, anak-anak dalam masyarakat Yahudi itu berposisi rentan, rendah, lemah. Agama, dengan demikian, semestinya bukan malah memperlemah posisi itu, melainkan memperkuatnya sehingga kemuliaan agama dan yang dijunjungnya memang benar-benar berlaku umum, apa pun bahasa teknisnya. Hanya dengan meletakkan kaum lemah dalam re-centering itu agama dapat melegitimasi dirinya sebagai rahmat bagi semua. Kalau agama ikut memandang kaum lemah sebagai objek pinggiran, kaum lemah cuma jadi batu pijakan, artinya untuk diinjak-injak demi mendapatkan predikat kesalehan, tiket ke surga, agama tidak berbeda, bahkan lebih buruk daripada lembaga sosial.

Gak ngerti, Rom, ini arahnya ke mana sih? Saya tak mengetahui halnya selain prinsip keadilan atau nasihat manajemen untuk memberi atensi terhadap rantai terlemah dari mata rantai kehidupan ini: tak membiarkan ada pihak yang terkena ketidakadilan. Ini bukan lagi soal kristenisasi atau islamisasi dengan mi instan atau kenaikan pangkat, melainkan soal keberpihakan agama terhadap keadilan, yang jika tak diperhatikan, ujung-ujungnya adalah protes alay “memperkosa istri sendiri adalah hak dan kewajiban suami”! Mengerikan dan menjijaykan! Agama macam mana itu melegalkan perkosaan? Yaitu agama yang menempatkan pihak lemah sebagai objek sehingga bukannya diberdayakan, melainkan diperdaya. Salut untuk mereka yang mau menyuarakan ketidakadilan dalam rancangan undang-undang dengan cara mengajukan judicial review.

Tuhan, mohon rahmat untuk menguji sikap adil kami. Amin.


SENIN BIASA XXVI C/1
PW S. Hieronimus
30 September 2019

Za 8,1-8
Luk 9,46-50

Senin Biasa XXVI B/2 2018: Sakti Tenan
Senin Biasa XXVI C/2 2016: Kenapa Agama Arogan?
Senin Biasa XXVI B/1 2015: Pancen Ironis…