Sakti Tenan

Bencana bisa dipolitisir ketika sensibilitas terhadap penderitaan menipis. Sudah saya bahas di tulisan berjudul Allah di Kalijodo, yang menyajikan beberapa tanggapan dan asumsinya terhadap penderitaan, entah itu bencana alam ataupun bencana nonalam. Ini tetap relevan bagi umat beriman untuk berefleksi, apakah ia sedang beriman atau sedang mempertebal kebodohannya.

Beberapa waktu lalu ada orang yang mengaitkan bencana alam dengan penetapan tersangka seorang pentolan ormas beratribut agama. Meskipun sudah jelas bahwa pengaitan itu adalah tindakan konyol, yang merepresentasikan kekonyolan anggota ormas itu, saya tak akan bosan menuliskannya. Bukan apa-apa, supaya kebodohan itu tidak menular.

Orang beragama yang bodoh justru merasa dirinya sedang berada di jalan yang paling benar. Orang beragama nan picik justru mengalami krisis identitas berkepanjangan. Abis gimana ya, kalau mau omong soal menata masyarakat, otoritas negara sekarang ini lebih credible, lebih accountable. Ada audit untuk check and balance yang semakin transparan semakin baik. Kalau mau omong dengan rasionalitas tepercaya, sudah ada sains yang ngêtrèn. Mau omong moralitas, lha itu pemimpin agama malah kena jerat kasus-kasus moral. Njuk agama ki mau gimana lagi supaya dapat lahan?

Teks bacaan hari ini, meskipun dari penulis yang berbeda, masih tersambung dengan bacaan kemarin dengan pesan inklusivisme bagi umat beragama. Beragama secara eksklusif cuma menghasilkan orang-orang beragama nan bodoh dan fanatik bin radikalis ala fundamentalisme. Makanan empuk bagi gerombolan semacam itu ialah apa yang dipergunjingkan oleh para murid Guru dari Nazareth itu. Menurut teksnya, mereka berdebat soal siapa yang terbesar di antara mereka dan setelah itu malah Guru dari Nazareth menyodorkan kriterium yang berkebalikan: kecil. Yang terkecil, dialah yang terbesar. Orang mesti mempertemukan keduanya untuk menemukan kebesaran yang sesungguhnya.

Di hadapan tragedi seperti gempa dan tsunami, omong soal siapa yang terbesar menjadi sedemikian menjijikkan jika tidak diletakkan dalam konteks mengambil peran dalam pelayanan kepada yang menderita. Salut kepada mereka yang karena solider dengan mereka yang mengalami tragedi kemudian membatalkan kegiatan besar yang sudah direncanakan, meskipun kegiatan itu sendiri jauh dari tempat bencana. Salut juga kepada semua orang beragama yang sungguh memberi tempat penting bagi mereka yang lemah, tersingkir, dan tertindas (bahkan meskipun dituduh kristenisasi, islamisasi, hinduisasi, dan lain sebagainya). Orang-orang macam begini ini yang menyatakan bahwa Pancasila memang sakti.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu menemukan kehendak-Mu dalam aneka ironi kehidupan. Amin.


SENIN BIASA XXVI B/2
Pesta S. Teresia dr Kanak-kanak Yesus
1 Oktober 2018

Ayb 1,6-22
Luk 9,46-50

Senin Biasa XXVI C/2 2016: Kenapa Agama Arogan? 
Senin Biasa XXVI B/1 2015: Pancen Ironis

1 reply