Adil gak sih menyerukan kepada kepolisian atau militer untuk menghadapi demonstran tanpa kekerasan tetapi tidak menyerukannya juga kepada demonstran? Konyol gak sih kalau kepada aparat keamanan disodorkan ayat suci “Jika pipi kirimu ditampar, berikanlah juga pipi kananmu”? Ha njuk di mana sucinya membiarkan orang lain anarkis dan merusak fasilitas publik? Di mana kesucian nasihatnya kalau melarang alat negara memakai kekuatannya tetapi membiarkan elemen lain memakai apa saja yang bisa merusak kepentingan umum?
Kemarin-kemarin sudah saya singgung bagaimana dulu di tahun 1998 Famred melepaskan diri dari Forum Kota (Forkot) karena perbedaan prinsip: nonviolence. Saya tidak hendak mengatakan mana yang benar dan salah atau mana yang lebih efektif, tetapi kinerja dua prinsip itu memang berbeda. Yang satu terikat batas ruang waktu. Yang lain mengatasinya. Batas ujungnya adalah kematian. Kalau dua prinsip itu sampai pada batas ujung, yang satu kehilangan kekuatannya, yang lain membawa serta kekuatannya.
Dalam film The Mission, misalnya, dikisahkan beberapa pemimpin agama yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan di Amerika Selatan. Yang satu melakukannya melalui doa, yang lainnya melalui angkat senjata. Siapa yang menang? Tentu saja yang lebih kuat fisiknya, yaitu penjajah.
Akan tetapi, orang yang punya senjata dan kekuatan lebih besar itu, tanpa dibunuh pun, akan mati sendiri. Semua orang akan mati sendiri, berdua, atau ramai-ramai, tanpa campur tangan kekerasan! Ini berlaku baik bagi orang yang berprinsip kekerasan, mereka yang melakukannya sebagai pembelaan diri, maupun mereka yang sama sekali tak mau berpegang pada kekerasan itu.
Betul, Rom, njuk yang tanpa kekerasan itu lebih cepat matinya.
Ya trus kenapa kalau matinya lebih cepat? Lebih cepat masuk neraka, gitu?
Teks bacaan hari ini menyajikan reaksi terhadap penolakan orang-orang terhadap rombongan Guru dari Nazareth. Para murid inginnya mengeluarkan kekuatan yang mereka punya untuk menghancurkan orang-orang Samaria yang tak tahu rasa syukur itu. Akan tetapi, sang guru malah menegur mereka. Kekerasan bukan jalan pilihannya, melainkan jalan yang dipilih lawan-lawannya.
Kalau begitu, seruan untuk tidak memakai jalan kekerasan, sewajarnya diserukan bukan hanya kepada aparat keamanan, tetapi juga mahasiswa, karena kekerasan niscaya dipilih oleh lawan-lawan mereka!
Bisa jadi orang lupa bahwa di balik kesuksesan perang kemerdekaan ada dinamika lain yang memungkinkan perang itu selesai. Kembali ke teks, bayangkan kalau para murid tadi tidak berdamai dengan teguran guru mereka. Mereka sungguh-sungguh mengutuk orang-orang yang menolak mereka dan bahkan menghancurkan kota mereka. Selesai di situ? Tidak, mesti ada aksi balas dendam, bukan aksi damai.
Peace cannot reign among men unless it reigns in the hearts of each of them. Begitu kata Paus Yohanes Paulus II. Di sini, amanat untuk memberikan pipi kanan kiri tidak bisa dimengerti secara naif sebagai sikap submisif terhadap pelaku kekerasan, tetapi sebagai sikap tak mau tunduk pada situasi yang tak bisa diubahnya: mencari jalan lain untuk memasrahkan hidup kepada Allah. Orang dengan kedamaian hati tak silau dengan shortcut menang-kalah, tetapi bertekun dalam mencari jalan keadilan Allah. Ia sakti mandraguna.
SELASA BIASA XXVI C/1
Pesta S. Teresia dari Kanak-kanak Yesus
1 Oktober 2019
Selasa Biasa XXVI A/1 2017: Ujungnya Apa
Selasa Biasa XXVI C/2 2016: Much Pain No Gain
Selasa Biasa XXVI A/2 2014: Pilih Rute Yang Mana Ya?
Categories: Daily Reflection