Sejak beberapa saat belakangan ini kepada kita disodorkan dinamika hidup politik yang menyiratkan bagaimana kekuasaan dijalankan, baik oleh pihak yang punya jabatan maupun oleh pihak yang gila jabatan, baik oleh pihak yang punya akses kekerasan maupun oleh pihak yang secara teoretis mendapat privilese untuk menggunakan kekerasan (supaya kekerasan lainnya tak merusak tatanan bersama). Teks bacaan hari ini ndelalahnya adalah bagian dari wacana mengenai bagaimana kekuasaan dijalankan dalam komunitas hidup umat beriman; dan kalau saya tulis umat beriman, yang terbayangkan di kepala saya ialah siapa saja yang punya relasi batin dengan Tuhan, yaitu Anda sekalian, apa pun label yang Anda miliki dan situasi Anda sekarang (konsolasi atau desolasi).
Wacana hari ini diawali dengan pertanyaan siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Allah: ketua DPR, ketua MPR, anggota termuda, mantan menteri, atau siapa lagi? Bisa siapa saja, asalkan mereka mengambil disposisi seperti anak kecil. Nah, ‘anak kecil’ ini bisa bikin perkara karena tendensi pendengar atau pembacanya adalah mengidentikkan kata itu dengan anak batita atau balita [atau baduta?]. Apakah gak boleh menangkapnya begitu? Ya tentu boleh, tetapi kalau orang berhadapan dengan teks suci, ia gak boleh terlalu letterlijk alias terpaku pada yang tersurat. Ungkapan ‘anak kecil’ merujuk bukan hanya kepada anak-anak balita dan sejenisnya itu, melainkan juga orang-orang yang dianggap tak punya signifikansi dalam masyarakat. Ndelalahnya, pada saat berwacana dengan murid-muridnya itu, Guru dari Nazareth bisa meraih anak-anak di dekatnya.
Mungkin kalau di dekatnya ada orang yang dinajiskan atau janda atau orang lain lagi yang disingkiri dalam masyarakat saat itu, Guru dari Nazareth itu juga akan menggapainya. Poinnya bukan anak kecil, orang sakit, janda, pelacur, dan sebagainya, melainkan mereka yang terpinggirkan. Nah, karena poinnya di situ, pernyataan Guru dari Nazareth ini tak bisa dilekatkan pada sembarang anak kecil, janda, pelacur, orang sakit, dan seterusnya. Anak kecil dan sebagainya itu mesti punya ‘kualifikasi’ untuk sungguh-sungguh jadi rujukan bagi pernyataan Guru dari Nazareth. Saya minim wawasan mengenai janda dalam sistem masyarakat matriarki, apakah ia tetap berposisi rentan seperti dalam sistem masyarakat patriarki. Saya juga tidak yakin bahwa janda dalam teks suci itu identik dengan semua janda zaman now, karena saya pernah juga tinggal dalam masyarakat yang meletakkan kejandaan dengan status terhormat (baca: berlomba-lomba menjadi janda cerai).
Bagaimanapun itu, poin Guru dari Nazareth dalam menanggapi pertanyaan murid-muridnya tentang siapa yang terbesar dalam komunitas umat beriman ialah bahwa yang terbesar mestilah meletakkan pihak-pihak tersingkir itu sebagai fokus perhatian supaya komunitasnya utuh. Ini disinggung dalam beberapa ayat sesudahnya (14): Allah tidak menghendaki seorang pun dari mereka hilang.
Pesta dalam Gereja Katolik hari ini mengingatkan orang bahwa Allah, melalui para malaikat pelindung, sungguh melindungi mereka yang tersingkir. Runyamnya, kadang malaikat ini mesti bertempur dengan orang-orang yang dengan kekuasaan manipulatifnya (entah via medsos atau bukan) hendak menyingkirkan orang yang bergumul dengan kebenaran sesungguhnya.
Ya Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu menjadi malaikat pelindung bagi siapa saja yang tertindas oleh ketidakadilan. Amin.
PW PARA MALAIKAT PELINDUNG
Rabu Biasa XXVI C/1
2 Oktober 2019
Posting 2018: Ke Mana Nih Malaikat?
Posting 2017: Adakah Hal Sepele?
Posting 2015: Duit Selangit, Pelayanan Elit
Posting 2014: Where is Your Guardian Angel
Categories: Daily Reflection