Sebetulnya saya ingin memajang foto anggota DPR termuda dalam periode lima tahun ke depan, tetapi nanti dikira gimana, jadi mending saya pajang foto yang viral saja. Kalau memajang foto yang viral dan tetap dikira gimana ya gakpapa, toh tugas si gimana itu memang mengira dan saya dikira #halah. Foto itu memang tidak punya kaitan langsung dengan teks bacaan hari ini, tetapi konteksnya cukup relevan: kamu diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.
Nah, problemnya ialah melihat yang mana anak dombanya dan yang mana serigalanya. Soalnya, anak domba dan serigala itu cuma analogi yang kualifikasi salah satunya bisa saja dominan dalam diri orang, entah yang ada dalam foto itu atau yang di luar foto itu. Salah satu argumentasi yang biasanya disodorkan pelaku poligami adalah soal keadilan, dan prinsip itu memang jadi prinsip dasar. Saya tidak antipoligami karena ada kondisi-kondisi khusus yang membuat seorang laki-laki sewajarnya menikahi perempuan lain. Misalnya, istri pertamanya sudah meninggal dunia.
Secara pribadi saya berkeyakinan bahwa sosok yang dapat secara adil melakukan poligami secara simultan adalah sosok Nabi Muhammad. Sesudah beliau itu, sekurang-kurangnya saya tidak (mudah) percaya bahwa pada masa sekarang ini alasan pemuliaan wanita bergandengan tangan dengan prinsip keadilan. Lha piye jal, wanita yang dimuliakan itu umurnya belum juga setengah abad, bisa jadi belum mengalami kemudaan sebagai wanita lajang, dan sebagainya. Tapi asudahlah, yang begini ini bisa dicarikan rasionalisasinya dan ujung-ujungnya saya cuma bisa menyimpan harapan supaya setiap orang menghidupi ketulusan untuk berlaku adil. Ini bukan perkara gampang, apalagi kalau pakai kriteria keadilan Allah.
Saya punya teman yang barangkali orang tuanya mendambakan keadilan itu, dan bukan sembarang keadilan, melainkan keadilan maksimal. Itulah yang senantiasa menjadi pekerjaan rumah siapa pun yang diutus kepada orang banyak, yang kerap luput dari agenda di luar mengejar uang pensiun atau jabatan ketua. Keadilan maksimal ini tak bisa disusutkan pada keadilan personal: antara seorang suami dengan lima istrinya atau antara seorang istri dengan lima suaminya. Keadilan maksimal ini mesti mencakup ranah seluas mungkin: keadilan sosial. Kalau orang mengklaim diri adil terhadap keluarga tetapi dengan bersikap tidak adil terhadap masyarakat, klaimnya pantas dipertanyakan. Anda butuh susu untuk bayi Anda, tentu tidak adil jika itu dilakukan dengan menjarah swalayan atau melakukan korupsi. Tak perlu berdalih dengan contoh Robin Hood.
Agak sulit mengatakan bahwa orang bisa menerapkan keadilan sosial tanpa keadilan personal, tetapi juga bagaimana orang bisa menerapkan keadilan personal tanpa jaminan keadilan sosial? Mengenai soal ini sudah saya singgung pada posting Jakarta-Indonesia PP, yang intinya kerap digembar-gemborkan: dahulukanlah kepentingan umum, karena kepentingan umum itu mencakup kepentinganmu.
Gimana kalo ternyata kepentingan umum itu tidak mencakup kepentingan saya, Rom?
Berarti Anda tidak umum😂😂😂 atau ya sudah deh, berarti itu bukan kepentingan umum.
Tuaian memang banyak, penuainya juga mungkin banyak, tetapi penuai yang mendahulukan kepentingan umum itu, entahlah. Semoga mereka yang dilantik kemarin sebagai wakil rakyat itu benar-benar mendahulukan kepentingan umum.
Tuhan, mohon rahmat untuk mewujudkan keadilan maksimal. Amin.
KAMIS BIASA XXVI C/1
3 Oktober 2019
Neh 8,1-4a.5-6.7b-12
Luk 10,1-12
Kamis Biasa XXVI B/2 2018: Awas Penyusup
Kamis Biasa XXVI A/1 2017: Hidup Cuma Sekali Kok
Kamis Biasa XXVI B/1 2015: Kesaktian Iman
Categories: Daily Reflection