Selama tahun politik ini orang tak dipermudah untuk melihat ketulusan. Seperti dalam teknik pembedaan roh, semakin orang maju, tidak semakin gampang perkaranya. Kalau cuma membedakan baik dan buruk, perkaranya sederhana, tinggal menentukan tolok ukur baik-buruknya saja. Apalagi kalau pilihannya cuma dua, pembedaan rohnya jadi lebih gampang. Akan tetapi, kalau orang sudah masuk ke koridor yang baik, ia tetap menghadapi aneka pilihan lain yang tolok ukurnya tidak sesederhana baik-buruk tadi.
Kenapa? Karena orang mesti memilih antara yang baik dan yang lebih baik lagi dan dalam pemilihan itu, pilihan yang sudah dijauhi dalam pembedaan sederhana tadi (baik-buruk), yaitu yang buruk, bisa kembali lagi untuk menawarkan sesuatu yang seolah-olah jadi pilihan ‘lebih baik’. Di situ orang bisa puyeng, apalagi kalau pembedaan rohnya diletakkan dalam konteks kolektif. Misalnya, prinsip transparansi dalam tahap awal pembedaan roh jadi penolong untuk melihat mana yang tulus dan mana yang kurang atau tidak tulus. Yang tidak tulus akan terbongkar kedoknya dengan penerapan kaidah transparansi. Yang tidak tulus ini tereliminasi.
Akan tetapi, tidak ada ceritanya bahwa pihak yang tereliminasi itu akan menghentikan agenda jahatnya. Dalam narasi puasa Guru dari Nazareth dituturkan begini “Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari padanya dan menunggu waktu yang baik.” (Luk 4,13 ITB) Dengan demikian, bukankah Iblis juga punya kesabaran untuk menunggu? Bahkan, tak mengherankan bahwa Iblis pun mau membongkar identitas Guru dari Nazareth. Akan tetapi, pembongkaran itu ditolak. “Apa urusanmu dengan kami, hai Yesus orang Nazaret? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa engkau: Yang Kudus dari Allah.” Tetapi Yesus menghardiknya, katanya: “Diam, keluarlah dari padanya!” (Mrk 1,24-25 ITB)
Beberapa saat setelah Soeharto jatuh, para mahasiswa di lembaga swasta tempat saya bekerja ini mengadakan demo menuntut transparansi keuangan. Ya, era keterbukaan datang dan mungkin mereka merasa lembaga saya ini menarik iuran begitu tinggi sementara fasilitasnya kalah jauh dari lembaga negeri. Tuntutan dikabulkan, dan tahulah mahasiswa bahwa yang (orang tua) mereka bayarkan itu hanya separuh lebih sedikit dari total pembiayaan per mahasiswa. Kekurangannya ditutup oleh yayasan dengan mencarikan donasi atau beasiswa.
Nah, malah bagus kan, Rom, mahasiswa jadi tahu berapa kebutuhan real biaya kuliah mereka?
Betul, tetapi tuntutan mahasiswa itu mempermalukan diri mereka sendiri karena mereka punya framing yang mendiskreditkan lembaga. Transparansi itu baik, tetapi bukan segala-galanya. Masih ada prinsip lain yang diperlukan supaya transparansi itu tak jadi batu pijakan bagi kepentingan jahat korup. Misalnya, prinsip keadilan. Belum tentu data transparan itu dipakai untuk kepentingan kepo belaka. Belum tentu pihak yang menuntut transparansi juga sendirinya transparan. Belum tentu yang menyuarakan anti korupsi sendirinya tidak korupsi.
Teks bacaan hari ini menyinggung soal ketidakmengertian para murid terhadap kata-kata Guru dari Nazareth. Bukan arti leksikal, melainkan semantik: tak menangkap maksud kata-kata guru mereka. Mereka sulit memahami bahwa penderitaan itu bermakna dan, karenanya, harus dihindari.
Semoga bangsa ini teguh dalam penderitaan tanpa jatuh dalam kekonyolan untuk menambah penderitaan yang tak perlu. Amin.
SABTU BIASA XXV C/1
28 September 2019
Sabtu Biasa XXV A/1 2017: Oga’ Ah
Sabtu Biasa XXV C/2 2016: Jangan Lupa Bahagia!
Sabtu Biasa XXV B/1 2015: Korban Ketiga
Sabtu Biasa XXV A/2 2014: Makan, Sensasi atau Butuh?
Categories: Daily Reflection