The Power of Now

Keterbatasan memori, waktu, dan pengetahuan soal grup wasap bisa menimbulkan kelucuan tersendiri. Misalnya, A melontarkan usulan program kegiatan. B membagikan foto menu makan siang. C membahas rapat. D meneruskan berita kerusuhan yang melibatkan bantuan ambulans [yang belakangan terkonfirmasi sebagai tempat perusuh bersembunyi]. Setelah itu masuklah pesan E “Itu sesuai dengan anjuran Bapak Uskup”! Alhasil, muncul pertanyaan dari F apakah maksudnya Bapak Uskup menganjurkan ambulans menampung perusuh!

Semua tahu maksudnya bukan itu, tetapi ya itu tadi, terjadi gap. Kenapa? Karena cara pikir linearnya. Kalau orang berpikir linear dalam grup wasap dan tidak mampu mengingat atau belum sempat melihat tiga-empat topik sebelumnya, kekeliruan teknik balas membalas pesan tadi bisa berujung kesalahpahaman. Kesalahpahaman akibat cara berpikir linear ini tidak hanya terjadi dalam dunia wasap, tetapi juga dalam dunia hidup beragama loh.

Teks bacaan pertama menyajikan Nabi Hagai yang jadi corong Allah untuk mengumumkan kepenuhan kemuliaan bait-Nya dalam waktu dekat. Teks bacaan kedua mengindikasikan pengenalan orang terhadap Guru dari Nazareth sebagai sosok Elia, Yohanes Pembaptis, atau nabi-nabi zaman jebot. Baik pesan Hagai maupun suara orang-orang tentang Guru dari Nazareth menunjukkan cara berpikir linear yang merujuk waktu masa depan atau masa lalu.
Lha memang mengenai waktu kan pilihannya cuma itu, kan, Rom? Sebanyak-banyaknya tenses dalam bahasa, ujung-ujungnya kan ya tiga waktu itu: dulu, sekarang, kelak.

Lhaaaaaaa, itulah yang mau saya sebutkan. Dua bacaan tadi merujuk pada dua tempo saja: dulu dan kelak. Sebetulnya saya korup: dalam bacaan kedua ditunjuk juga masa kini, yaitu pengakuan Petrus “Engkaulah Mesias”. Akan tetapi, persoalannya tetap tinggal. Gap tetap terjadi: Allah itu terbiaskan ke masa depan (ingatlah surga-neraka), sedangkan manusia cenderung kembali ke masa lalu yang tak ada lagi. Maka, “Mesias” dalam kekristenan, misalnya, dilekatkan pada sosok Guru dari Nazareth itu, yang kelak akan datang kembali entah kapan.
Loh, memang begitu, kan, Rom? Wafat Kristus kita maklumkan. Kebangkitannya kita muliakan. Kedatangannya kita rindukan. Begitu kan orang Kristen menyatakan imannya akan Kristus?

Haaaaa itu dia! Itu pernyataan iman, Saudara-saudara, jangan dimengerti semata dengan cara pikir linear tadi. Kalau berpikirnya linear, orang beragama akan saling bertikai karena kultur yang diusung ke mana-mana. “Lha dulu Nabi tidak merokok. Dulu Nabi tidak married. Dulu Nabi istrinya pelacur. Dulu Nabi juga membunuh musuh. Dulu Nabi berjubah.”
Betul, tapi Nabimu itu hidup di mana, Masbro? Di Indonesia? Indonesia zaman old atau zaman now? Semua nabi terikat pada challenge and response seturut konteks hidupnya. Lain ladang lain belalang. Maka, yang penting bukan kebiasaan, pakaian, makanan, atau kendaraan nabinya, melainkan prinsip yang melandasi pilihan-pilihan nabi itu. Prinsip itu yang perlu dipetik dan pilihan konkretnya disesuaikan dengan konteks zaman now
Jika tidak begitu, agama cuma jadi bagian persoalan, bukan pemecahan persoalannya.

Kemuliaan Allah dan nabi-Nya tidak ada di masa lalu atau masa depan, tetapi di masa sekarang: dalam hidup Anda di sini.

Tuhan, berilah kami rahmat cinta-Mu. Amin.


JUMAT BIASA XXV C/1
PW S. Vinsensius a Paulo
27 September 2019

Hag 2,1b-9
Luk 9,18-22

Jumat Biasa XXV B/2 2018: Waktunya Nganu
Jumat Biasa XXV C/2 2016: Cari Slamet
Jumat Biasa XXV B/1 2015: Mari Berkurban Hari Kedua
Jumat Biasa XXV A/2 2014: Seperti Apa Roda Hidupmu?