Kapten Kiper

Published by

on

Saya singgung bal-balan bukan karena semalam tim Jürgen Klopp menang lagi, melainkan karena dulu saya senang main bal-balan. Sekarang sudah dilarang dokter karena katanya saya sudah seperti Eden Hazard di Real Madrid: pre-obesitas. OMG.
Dulu biasanya saya bermain futsal bersama adik-adik kelas yang umurnya terpaut sekurang-kurangnya sewindu dengan saya. Untuk orang seumuran saya sebetulnya bukan main futsalnya yang penting, melainkan rutin mengolah badannya. Jadi, sebetulnya kalau tidak futsal pun saya masih bisa pilih nge-gym atau bersepeda di tempat. Akan tetapi, saya tergolong homo ludens, manusia yang bermain, meskipun tak bermain-main. Main futsal tetap lebih mengasikkan daripada nge-gym atau bersepeda di ruangan empat kali empat meter.

Pada masa ujian, biasanya futsal jadi tidak rutin, meskipun saya desak untuk “ujian ya ujian, futsal ya futsal”. Alhasil, kalau biasanya futsal bisa empat lawan empat, kadang terjadi cuma ada tiga gelintir adik kelas di lapangan. Kalau mau main dua lawan dua kok rasanya hidup ini seperti sekwintal kapas di pundak. Akhirnya ya bermainlah kami dengan aturan yang menang, yang bikin gol, mesti jadi kiper. Dengan begitu, ada giliran untuk mengolah badan dan beristirahat sejenak. Sebetulnya tanpa kiper juga gapapa sih, tapi namanya juga bal-balan, ya pakai kiperlah; lagipula, tidak mengasikkan juga menendang bola ke gawang kosong trus kalau bola melenceng jauh mesti ambil bolanya sendiri; dan demi apropriasi atau refleksi untuk hari ini, biarlah kiper mengambil peran.

Anda sudah biasa mendengar frase ‘merendahkan diri menaikkan mutu’ untuk mengatakan suatu modus yang ditempuh seseorang supaya harga dirinya mengembang. Tidak dengan permainan bal-balan yang saya jalani tadi. Kiper bukan favorit bagi yang mau main bola berlari ke sana kemari, karena kerja kiper cuma geser kiri-kanan, hadap kiri-kanan, atau memungut bola yang meleset dari gawang. Justru itulah yang saya pakai untuk menunjukkan relevansi hari raya orang Katolik ini. Sudah saya jabarkan dulu konteks historis penetapan Kristus Raja Semesta Alam dalam posting Di Sini, Bukan dari Sini. Maksud saya, supaya pembaca tidak menangkap frase itu seperti Jokowi sebagai presiden dua periode (dan muncul wacana tiga periode, ya ampun, apa gada kader dari sekian ratus juga penduduk ya).

Maka dari itu, tak usah berpusing ria dengan doktrinnya sendiri, dan lebih baik memetik manfaat dari inspirasi kemunculan doktrin itu. Saya memakai pendekatan dari permainan futsal mini tadi: yang menang, yang bikin gol, mesti mau jadi kiper, sehingga permainan berjalan. Kristus menjadi Raja Semesta Alam bukan karena dia menang dan bikin gol, melainkan karena ia mau jadi kiper.😂😂😂
Ia membiarkan orang-orang di sekelilingnya menampakkan jati diri mereka, seakan-akan mereka adalah penguasa hidup yang bisa dengan mudah melecehkan, mengejek, menghina, mengumpat orang lain.

Orang beriman meraja bukan karena jadi penguasa, melainkan karena mencinta sedemikian rupa sehingga hidup bersama berjalan secara lebih baik. Karenanya, hari raya ini bernuansa harapan supaya seperti Kristus, orang beriman mau berperan dalam BUMN demi kepentingan publik. [haiya mau bangetlah, Rom, wong digaji😂😂😂]. Pokoknya Anda tahulah maksud saya.

Tuhan, mohon cinta-Mu supaya kami dapat menguasai diri alih-alih menguasai sesama dan semesta. Amin.


HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM C/1
Minggu, 24 November 2019

2Sam 5,1-3
Kol 1,12-20

Luk 23,35-43

Posting 2016: Hari Gini Kerajaan

Previous Post
Next Post