Sebuah tulisan feature mengenai salah seorang staf khusus presiden yang saya baca kemarin nongol sendiri saat merefleksikan kisah kecil bacaan-bacaan hari ini. Saya mengapresiasi pilihan presiden untuk memberi kepercayaan kepada putra-putri milenial bangsa sebagai staf khususnya. Dalam kisah bacaan pertama hari ini dikatakan: orang-orang muda yang tidak ada sesuatu cela, yang berperawakan baik, yang memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang mempunyai pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap untuk bekerja dalam istana raja. Salah satu orang muda dalam teks bacaan pertama itu adalah Daniel.
Yang kemarin jadi bahan tulisan feature itu tentu bukan Daniel, melainkan Angkie. Karena sosok inilah saya apresiasi pilihan presiden (tentu bersama stafnya). Kenapanya tentu Anda sudah bisa menebak. Ya betul, karena itu.
Bacaan kedua hari ini menuturkan obrolan Guru dari Nazareth dan murid-muridnya. Sepertinya beliau ini ngegosip juga ya, mosok ada orang mencemplungkan recehan aja dikomentari?
Tapi gak juga dhing karena pokok yang dibahas Guru dari Nazareth bukan sosok orangnya sendiri, melainkan tindakan dan konteksnya. Lagipula, belio tidak membahas keburukan orang.
Saya juga tidak hendak membahas keburukan Angkie (kalau tahu, mungkin saya bahas😂😂😂). Tadi kan saya menyebutnya dalam rangka mengapresiasi pilihan presiden. Kenapa pilihan presiden meminta Angkie jadi staf khususnya saya apresiasi? Karena presiden memberikan kepercayaan kepada sosok yang barangkali oleh kebanyakan orang dipandang sebagai titik lemah: Angkie berkebutuhan khusus dalam hal pendengaran. Saya sama sekali tidak memandangnya sebagai keburukan. Bahkan, bisa jadi kebutuhan khusus itu malah merupakan kelebihan.
Saya lupa apakah pernah saya ceritakan di sini. Kami punya asisten yang sejak kelahirannya di planet ini tak pernah mendengar suara jangkrik atau kodok atau lagu pop dan sebagainya. Jadi, dia mesti belajar membaca gerak bibir lawan bicaranya. Yang mengagumkan saya, ia lulus sekolah di sekolahan yang sama sekali tidak punya embel-embel luar biasa atau ‘berkebutuhan khusus’. Ini sekolah biasa dan punya nama di kota tinggal saya ini. [Lha iyalah, kalau gak punya nama njuk nyebut sekolahnya gimana…]
Pada suatu ketika, saya menyampaikan suatu argumentasi dan dia segera menyela saya,”Romo jangan marah!” dan saya membantahnya,”Siapa yang marah?” (dengan nada tinggi sebetulnya) lalu malah saya jadi terkejut sendiri dengan penjelasannya. Dia bilang, dia tidak bisa mendengar suara saya, tetapi dia memperhatikan otot leher saya waktu bicara! Mati aku😂😂😂, untunglah tak punya darah tinggi.
Guru dari Nazareth menunjukkan aspek lain dari suatu tindakan amal. Kalau murid-muridnya memakai perhitungan utilitarian (segi kegunaan), sehingga semakin banyak duit amalnya semakin bernilai, beliau membuka perspektif nilai yang basisnya adalah totalitas pemberian diri. Sedekah dalam tradisi Yahudi sangatlah penting (Ul 15,11), tetapi tendensi akumulasi kekayaan juga tidak berhenti begitu saja. Tendensi inilah yang bisa jadi blokade totalitas pemberian diri seperti dicontohkan janda miskin dalam bacaan.
Saya percaya, staf khusus presiden yang muda belia ini tak berorientasi mencari gaji, tetapi membangun NKRI.
Tuhan, mohon rahmat untuk mengabdi tanpa hati terbagi. Amin.
SENIN BIASA XXXIV C/1
25 November 2019
Senin Biasa XXXIV B/2 2018: A Man Called Ahong
Senin Biasa XXXIV A/1 2017: Mencari Wajah Allah
Senin Biasa XXXIV C/2 2016: Perut Penuh, Hati Kosong
Senin Biasa XXXIV B/1 2015: Cowok Matre’
Senin Biasa XXXIV A/2 2014: Totality Makes A Difference
Categories: Daily Reflection