Jatuh cinta pada pandangan pertama tidaklah sulit dimengerti, juga pada pandangan kedua dan seterusnya. Tak sulit dimengerti karena di situ tersembunyi kepentingan diri, bagaimana pun dibahasakan. Kalau sudah menyangkut kepentingan diri, jatuh cinta pun bisa berkali-kali. Beda halnya kalau bersinggungan dengan komitmen diri, jatuh cintanya bisa datang belakangan atau jangan-jangan malah gak datang-datang.
Narasi hari ini menyisakan pertanyaan bagaimana mungkin ada orang asing mengundang orang meninggalkan masa lalu dan ndelalahnya kok yang diundang ya mau dan maunya itu kok seperti kalau ibu-ibu ditawari perkakas mahal diembel-embeli diskon 60% gituloh: bersegera manthuk-manthuk menjawab “mau mau mauuuuuu”.
Padahal, ajakan orang asing ini tak menjanjikan diskon, dan malah memutuskan orang-orang yang diundangnya dari suratan nasib mereka. Lha wong orang sudah sekian lama berprofesi penjala ikan, kok njuk diajak menjala manusia.
Beberapa hari lalu, seorang kawan bertanya apa yang menyebabkan orang mengalami ‘ketempelan’ alias ‘kelekatan’ dan saya cuma nebeng orang lain untuk menjawabnya, tetapi memang jawaban itu untuk saya sendiri berbunyi. False belief bikin orang ‘ketempelan’. Biasanya false belief ini berbunyi: aku tidak bisa hidup tanpa anu atau inu.
Itulah yang barangkali dialami para murid Guru dari Nazareth, seakan-akan mereke terhipnotis oleh undangan orang asing itu untuk jadi penjala manusia dengan berkata kepada diri mereka sendiri,”Aku bisa hidup tanpa jadi penjala ikan.”
Hanjuk kalau semua nelayan ikut undangan itu, siapa yang kerja nangkap ikan dong?
Ya memang tidak semua nelayan ikut. Hanya yang mendengarnya, seperti ditegaskan dalam teks bacaan pertama: iman bermula dari pendengaran.
Lha kalo’ sejak lahir tuli gimana Rom?
Nah, Anda salfok seperti mereka yang nyinyir Agnez Mo: ini bukan soal biologis gendang telinga menangkap bunyi. Ini soal hati yang terbuka pada panggilan semesta.
Ini memang bukan perkara mudah, apalagi di Indonesia yang konon jadi negeri yang sangat religius dan saking religiusnya apa-apa saja terkena prasangka religius. Prasangka yang tidak salah seratus persen, tetapi tetaplah naif untuk orang beriman sejati.
Kemarin saya berkunjung ke salah satu rumah pendampingan orang muda dan bertepatan dengan waktu jumatan, dan salah seorang muda di situ yang berpeci dan bersarung hendak keluar kompleks dan menyapa saya dengan sapaan ‘Romo’, dan saya titip ucapan pada brudernya (religius selibater pria Katolik yang ranah pelayanannya tidak seluas pastor dalam hal keagamaan) untuk minta didoakan dan orang muda itu memberikan jaminannya.
Di situ saya melihat orang jadi penjala manusia, ya brudernya, ya orang mudanya itu. Penjala manusia adalah soal perambatan iman kepada Allah YME, yang tak pandang bulu agama. Itu susah untuk orang yang ‘ketempelan’ agama, yang dalam hatinya bertengger false belief bahwa ia tidak bisa hidup tanpa agama. Tentu ada false belief tentang agama (selain tentang diskon ya, Ibu-ibu), tetapi ya tak usah dibahas di sini ya. Yang penting semoga setiap jiwa tergerak untuk mendengarkan kedalaman hatinya. Amin.
PESTA S. ANDREAS RASUL
(Sabtu Biasa XXXIV C/1)
30 November 2019
Posting 2018: Aparatur Sipil tuhaN
Posting 2017: Takut Bangkit, Takut Jatuh
Posting 2016: Rujuk Nasional, Ehm…
Posting 2015: Saudara Seiman
Categories: Daily Reflection