Harapan vs Tuntutan

Saya kira sudah beberapa kali saya tuliskan petuah ini: Berusahalah sekuat tenaga seakan-akan semuanya bergantung pada Allah dan berserahlah sejauh mungkin seakan-akan semuanya bergantung pada kekuatan diri sendiri.
Contoh orang yang memegang petuah ini adalah sosok yang diceritakan dalam teks bacaan pertama hari ini: Daud. Ia pergi ke medan perang, menghadapi Goliath sang raksasa Filistin, dengan membawa batu kali. Sebetulnya Saul sudah mengingatkan bahwa Daud tak akan bisa melawan Goliath karena Goliath ini tentara terlatih sejak kecil, tetapi Daud melihat pengalamannya. Kalau selama ini dia bisa menjaga kawanan dombanya dan terlepas dari cakar singa dan beruang karena Allah, kiranya karena Allah juga ia terlepas dari keangkuhan Goliath. Mendengar keyakinan itu, Saul pun tidak menahannya.

Daud dan Goliath memang simbol kenjomplangan dari berbagai faktor. Fisiknya jauh berbeda, juga latar belakang pekerjaan mereka, serta peralatan yang mereka gunakan. Tapi jangan salah, keduanya sama-sama memakai perlengkapan yang optimal. Ya itu tadi: berusaha sekuat tenaga. Kalau sekuat tenaganya 500 cc ya usahakan 500 cc betulan. Kalau sekuat tenaganya 1000 cc ya capailah 1000 cc itu. Nah, perkara yang 500 cc kalah dari 1000 cc, itulah yang dipikirkan Saul, Goliath dan kebanyakan orang di sekeliling Daud.

Pesan teks ini tidak terletak pada penjungkirbalikan logika orang di sekeliling Daud, yaitu bahwa yang 1000 cc ternyata kalah dari yang 500 cc. Pada banyak kasus, yang 500 cc kalah dari yang 1000 cc. Nah, pesan teksnya mesti dicari pada apa yang membedakan si pemilik 500 cc dan 1000 cc tadi. Itu adalah kekuatan terbaik yang mereka miliki. Mengapa yang 1000 cc kalah? Karena kekuatannya tak bisa optimal alias tidak benar-benar keluar 1000 cc. Kenapa? Ya mboh. Kalau dari petuah tadi sih sepertinya karena Goliath begitu yakin bahwa kekuatannya sendiri sudah cukup untuk mengalahkan Daud, lha wong 1000 cc je! Dia lupa bahwa motor dengan cc lebih kecil tarikan awalnya bisa lebih cepat dari mobil 2000 cc #lohkokjadimotormobiltoiki.

Itu bedanya Daud dari Goliath. Ia menambahkan elemen lain dalam usahanya, yaitu harapan bahwa Allah senantiasa bersama umat-Nya, entah sukses atau gagal. Maka, pesan teksnya ada di situ, supaya orang meletakkan seluruh usaha terbaiknya dalam harapan akan penyertaan Allah sendiri. Sukses, gagal, suka duka, untung malang, semua jadi relatif jika orang sungguh mengandalkan Allahnya. Maksudnya, target keberhasilan tak membutakan orang untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Bacaan kedua menyodorkan setting yang tak kalah menegangkan karena Guru dari Nazareth dites di hadapan publik kalau-kalau dia melanggar hukum Sabat. Dalam kacamata lawannya, dia melanggar hukum Sabat. Dalam kacamata Guru dari Nazareth, yang saya lihat lewat kacamata saya, dia menyempurnakan hukum Sabat itu: berbuat baik, menyelamatkan nyawa.
Apakah ini soal tujuan menghalalkan cara? Bukan, karena, seperti kemarin, ini justru soal bahwa cara yang disodorkan Guru dari Nazareth adalah cara Allah bekerja: tak kenal lelah, tak kenal hari libur bikinan manusia. Allah memanggil orang beriman setiap momen dalam hidupnya. Pada-Nya harapan pantas diletakkan dan, boleh percaya boleh tidak, dalam peletakan harapan kepada-Nya itu, orang happy tanpa syarat. Beda kalau orang meletakkan tuntutan kepada-Nya.

Tuhan, mohon rahmat supaya mampu menyerahkan usaha hidup kami dalam penyelenggaraan-Mu. Amin.


RABU BIASA II A/2
22 Januari 2020

1Sam 17,32-33.37.40-51
Mrk 3,1-6

Posting Tahun B/2 2018: God is Cool
Posting Tahun C/2 2016: Otak SNI