Relatif tak lama setelah kemunculan core of the core, dalam hidup wang sinawang ini, muncullah king of the king. Akan tetapi, teks bacaan pertama hari ini menarasikan sosok yang rupanya merasa lebih baik mati daripada menjadi king of the king [apalagi kalau dia tahu bakal dituntut dengan tuduhan penyiaran berita bohong!]. Daud menangisi anaknya, yang hendak melakukan kudeta supaya bisa jadi king of the king, tetapi akhirnya bernasib tragis. Ternyata, bukan cuma sosok ibu yang sayang pada anaknya, melainkan juga sosok ayah bisa begitu sayangnya pada anak yang bengal. Begitu besar kasihnya sehingga pengorbanan terbesar pun sebetulnya takkan jadi penyesalan bagi sosok seperti ini. King of the king lewat. Tangisannya sungguh tangisan duka karena cinta ayah pada anaknya.
Beda dengan tangisan yang dinarasikan dalam teks bacaan kedua. Sama-sama ada kematian, tetapi tangisannya bernuansa ribut dengan ratapan yang lantang. Barangkali itu bagian dari formalitas adat mereka sehingga ketika ada ‘penyusup’ yang masuk, mereka bereaksi keras. Betul, Guru dari Nazareth bertanya mengapa mereka gaduh menangis sedangkan anak itu tidak mati. Sontaklah mereka tertawa, dan bisa jadi tawanya bernuansa mengejek. Bagaimana mungkin orang mati dibilang tidur?
Konteks ceritanya ialah ada seorang kepala rumah ibadat yang anaknya sudah sekarat. Ia datang kepada Guru dari Nazareth dan mohon supaya datang menyembuhkan anaknya. Dalam perjalanannya, Guru ini terhambat oleh kerumunan banyak orang dan seorang perempuan menderita sakit pendarahan dua belas tahun lamanya. Pesan teksnya rupanya ada di sini karena nanti juga terulang ketika Guru ini tiba di tempat Yairus kepala rumah ibadat itu. Ia menegaskan bahwa iman perempuan itu menyelamatkannya, dan perempuan itu memang sembuh. Guru dari Nazareth melanjutkan perjalanannya, tetapi kerabat dari kepala rumah ibadat itu datang menyampaikan kabar bahwa anaknya yang sekarat itu sudah mati, tak perlu merepotkan Guru.
Problemnya bukan repot atau tidak, melainkan bahwa pesan tadi mesti diteruskan. Maka, Guru dari Nazareth berpesan supaya mereka tak perlu takut dan percaya saja karena iman memang menghidupkan. Hanya saja, mungkin Guru ini sedikit lebay, berkomentar bahwa anak itu cuma tidur, dan karena komentar itu terbongkarlah formalisme tangis duka orang di sekeliling anak kepala rumah ibadat itu. Mereka tidak berduka seperti Daud menangisi Absalom. Entah apakah mereka dibayar untuk menangis dan ribut, tetapi pokoknya bukan karena cinta mendalam kepada sang anak. Nah, kalau tak ada cinta mendalam, begimana orang bisa mendalami iman?
Orang bisa berpengetahuan mendalam mengenai cinta atau iman, juga membagikan pengetahuan itu melalui buku atau ajaran-ajarannya, tetapi tanpa sendiri mengambil langkah dalam iman itu, tak terjadi kesembuhan atau kehidupan. Untuk kesekian kalinya saya mengatakan di sini, ini beda dari pengetahuan mengenai agama. Ini adalah soal sikap atau disposisi batin dan keputusan seseorang untuk bertindak dalam relasinya dengan sumber yang menginspirasi agama. Ini mengingatkan saya pada kisah Blondin yang pernah saya singgung pada link ini. Iman berarti mencemplungkan diri, terlibat dalam risiko persahabatan dengan Allah. Tanpa keputusan untuk melibatkan diri itu, adanya cuma teori, adanya cuma ndompleng formalisme agama.
Tuhan, tambahkanlah iman kami kepada-Mu dan berilah kami keberanian untuk mengambil risikonya. Amin.
SELASA BIASA IV A/2
4 Februari 2020
2Sam 18,9-10.14b.24-25a.30-19,3
Mrk 5,21-43
Posting Tahun B/2 2018: Agamafobia
Categories: Daily Reflection