Kacamata Kuda

Mengapa ungkapan berkacamata kuda itu cenderung bermakna peyoratif? Bukankah syarat yang disodorkan Allah kepada king of the king sebelum kematiannya ini juga mengandaikan orang pakai kacamata kuda? Sebelum ajalnya, Daud berpesan kepada Salomo, anaknya, penerusnya: supaya dia hidup di jalan Tuhan, menaati perintah-Nya, menjauhi apa yang dilarang-Nya. Hanya dengan jalan itu generasi king of the king berkesinambungan. Belum lagi kalau dibandingkan dengan teks bacaan kedua. Para murid diutus Guru dari Nazareth dengan pesan supaya mereka tak bertele-tele dengan bekal, yang penting fokus pada tugas mereka? Itu berarti mesti pakai kacamata kuda supaya fokus, supaya hidup di jalan Allah tadi, kan? Kenapa itu mesti dimaknai secara peyoratif?

Ya baiklah kalau begitu silakan rasa-rasakan nikmatnya jadi kuda dan diberi kacamata. Betul Anda akan fokus pada jalan yang mesti Anda tempuh karena kacamata itu memang tak memungkinkan Anda melihat dunia luas di kiri kanan Anda. Anda hanya perlu melihat jalan di depan Anda, dan Anda takkan tersesat. Tersesat menurut siapa? Tersesat menurut yang mengendalikan Anda, tentu saja.
Nah, di situlah persoalannya: siapa yang mengendalikan Anda sebagai kuda?
Kusir!
Wokay, siapa kusirnya? Tuing tuing tuing.

Balik lagi ke soal kemarin. Dari mana Anda bisa mengklaim bahwa kusir Anda adalah Tuhan sendiri? Dari mana keyakinan Anda bahwa yang mengendalikan hidup Anda adalah Roh Allah sendiri? Nota bene: Ingat ya, Anda masih jadi kuda.

Kalau begitu, berkacamata kuda bermakna peyoratif persis karena menunjuk pada kualitas hewan. Betul jalan Anda lurus, sesuai dengan peta yang ditunjukkan ojek online, tak kesasar, tetapi Anda menutup mata bahwa ada banyak jalan menuju Roma. Persoalannya cuma di situ sih sebetulnya. Maklum, teks bacaan pertama itu berbau-bau tulisan pemuka agama yang tentu saja orientasinya nasihat supaya orang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apakah itu jelek? Sama sekali tidak. Yang jelek adalah pelakunya, ketika ya itu tadi, menutup mata bahwa ada banyak jalan menuju Roma dan aku secara sadar memilih jalan tertentu: bukan karena cuma jalanku yang benar atau karena jalan lain salah, melainkan karena di sinilah aku hidup secara bebas dalam genggaman pilihanku, bukan karena aku harus ini atau harus itu.

Kalau begitu, juga teks bacaan kedua perlu dimaknai secara kontekstual. Perintah dan larangan agama senantiasa perlu dilihat dalam kacamata yang lebih luas daripada kacamata kuda justru supaya perintah dan larangan itu tidak lagi jadi beban, tetapi pilihan.
Kalau bicara soal pilihan, Anda mungkin perlu berkaca pada pemilu sejak zaman jebot: tak ada pilihan sempurna, tetapi sekurang-kurangnya Anda memilih minus malum (yang jeleknya lebih sedikit). Artinya, tak usah mengklaim bahwa pilihan Anda adalah pilihan terbaik, seakan-akan yang lainnya buruk. Lebih tepat orang memakai kacamata biasa: di hamparan luas tawaran dunia ini, ia sadar mengambil jalan tertentu dan punya orientasi ke depan, termasuk ketika berjumpa dengan persimpangan atau pilihan berbeda. Orang perlu mengabaikan pilihan yang menjauhkan diri dari orientasi hidup sejati. Fokus gitu.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk dapat menemukan kehendak-Mu dalam perbedaan-perbedaan yang kami jumpai. Amin.


KAMIS BIASA IV A/2
Pw. S. Paulus Miki dkk
6 Februari 2020

1Raj 2,1-4.10-12
Mrk 6,7-13

Posting Tahun B/2 2018: Stop and Go
Posting Tahun C/2 2016: Bebas Memang Gak Enak