Pemuka agama mana yang tak gusar ketika dirinya dituduh sebagai pencuri bin garong alias perampok? Yaitu pemuka agama yang sadar diri dan mau mawas diri atas hidupnya sendiri, jangan-jangan memang dia benar-benar tikus garong, yang merampok jatah umatnya untuk mengakses kesejatian hidup.
Teks bacaan hari ini mencontohkan pemuka agama yang gusar karena diasosiasikan dengan maling dan perampok. Artinya, mereka mengerti tuduhan yang dilekatkan kepada mereka, tetapi mereka tak sadar diri, tak mau mawas diri sebagai pemimpin yang buta, yang menyesatkan umat sederhana. Lha ini menarik juga untuk refleksi masa kopit ini; mesti ada pemimpin (agama) yang seperti itu; yakin menunjukkan jalan yang benar, jebulnya matanya blawur.
Kata αὐλή (aule, Yunani) kerap disalahpahami sebagai kandang domba, sebagaimana diterjemahkan dalam Kitab Suci berbahasa Indonesia. Ya mohon maaf, saya tidak menguasai bahasa Yunani, tetapi hari gini orang bisa cek sana-sini mengenai ini itu. Saya tahu bahwa menerjemahkan itu tidak mudah, bisa jadi mengkhianati yang diterjemahkan, dan dalam hal ini, terjadi pengkhianatan itu. Kata αὐλή nongol 177 kali dalam teks Perjanjian Lama dan tak satu pun yang merujuk pada kandang domba. Kata αὐλή selalu berarti halaman atrium, tentu bukan Atrium Senen, apalagi Selasa. Bayangkanlah Anda berkunjung ke rumah saya yang dulu, begitu melewati lobby, Anda dapati hamparan rumput luas dan beberapa pohon di sana-sini. Rumah saya yang sebelumnya lagi berbentuk kotak, lima lantai, dan di tengahnya itu halaman terbuka.
Nah, dalam teks ini lebih spesifik lagi yang ditunjuk adalah halaman kompleks rumah ibadat, tempat hewan persembahan disembelih dalam ritual agama Yahudi. Ini jadi tempat tertutup, yang menjadi area pemuka agama menjalankan ritual eksploitasi hewan. Persis hal inilah yang ditunjukkan Guru dari Nazareth. Ini bukan lagi pagar kandang domba, melainkan pagar lembaga agama yang dihidupi oleh orang-orang sederhana yang dikooptasi oleh kepentingan kelas pemuka agama, yang celakanya, menyodorkan paham Allah yang menyesatkan. Paham Allah yang menyesatkan senantiasa membuat orang beragama tak merdeka: Allah yang mengharuskan orang berbuat A seturut aturannya, Allah yang menjatuhkan hukuman B jika orang melanggar, dan sejenisnya. Siapa yang diuntungkan? Kelas pemuka agama tadi, yang menentukan sendiri orang beragama harus begini atau begitu. Apa yang diperoleh pemuka agama begini? Penghormatan, persembahan, gratifikasi, dan seterusnya. Pastorsentris bisa jadi dinikmati oleh pemuka agama (Katolik terutama).
Pastor bonus (gembala baik) dalam terang teks bacaan hari ini bukan lagi gembala baik yang manis-manis di mimbar dengan khotbah atau olah vokal atau kemampuan musikal, yang mempersaksikan Allah yang baik nan manis, melainkan gembala yang membongkar paham-paham sesat yang membuai orang beragama dalam kenyamanan hidup beragama. Saya bersyukur punya Uskup, sebagai gembala umat Katolik, yang secara tegas menyatakan bahwa seluruh ritual keagamaan offline di luar rumah ditiadakan. Mengulang yang kemarin, setiap orang beragama bisa bermawas diri: jika peniadaan itu membuatnya tak nyaman, apalagi mencari-cari kesempatan supaya bisa menyelenggarkan ritual offline, bisa jadi ia justru tertipu oleh pastor bonus yang tak mawas diri tadi: terkungkung pada kebiasaan ritual yang tidak memerdekakan.
Tuhan, ajarilah kami senantiasa bahasa cinta-Mu. Amin.
MINGGU PASKA IV A/2
3 Mei 2020
Kis 2,14.36-41
1Ptr 2,20b-25
Yoh 10,1-10
Minggu Paska IV A/1 2017: Pastor Jokowuih
Minggu Paska IV A/2 2014: Umat Menggembalakan Imam *
Categories: Daily Reflection, Personal Notes