Konon ada sebuah penelitian di negeri Om Sam mengenai bagaimana orang-orangnya mempersepsikan Allah. Hanya ada 5% kaum ateis, tetapi cuma ada 23% yang punya gambaran Allah yang baik. Yang lainnya begitu buruk: otoriter, jauh, tak berurusan dengan problem manusia, suka mengadili dan menghukum. Saya tak sempat membandingkannya dengan Pew Research Centre di sini, tetapi pokoknya ialah jika gambaran Allahnya jelek, itu pula yang direalisasikan orang-orangnya. Jika orang memuliakan Allah Mahaadil, ia berusaha menunjukkan keadilan Allah itu. Seorang teroris religius tak akan menghabisi nyawa orang berlandaskan paham Allah pemurah dan penyayang kehidupan. Orang yang meyakini Allah sebagai hakim mahaadil dan penghukum saja takkan tenang melihat tetangganya bertindak dursila. Singkatnya, bagaimana orang membangun hidup juga bergantung pada paham Allahnya.
Ketika Guru dari Nazareth mengklaim diri gembala yang baik, ia memancing pendengarnya untuk mengontemplasikan gambaran Allah yang terefleksikan dari hidupnya. Keindahan dan kebaikan Allah seperti apa yang ditunjukkannya?
Maaf lagi, saya menyesalkan terjemahan bahasa Indonesia. Di situ terjemahannya berbunyi “gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Di situ dirujuk sosok yang menyerahkan nyawa, dan orang Kristen/Katolik langsung mengasosiasikannya dengan Yesus yang mati di salib. [Apa Yesus memang mati di salib? Pernah saya ulas pada posting Bukan Yesus yang mati.] Lalu, gembala yang baik itu seakan-akan cuma Yesus sendiri atau mereka yang mati dalam tugas.
Padahal, teks tidak menunjuk perkara penyerahan nyawa! Kata yang dipakai ialah τίθησιν (tithēsin, Yunani), yang dalam konteks kalimatnya berarti menempatkan diri in behalf of (demi kepentingan) domba-dombanya. Guru dari Nazareth ini menempatkan dirinya di depan murid-muridnya supaya mereka bisa membuat pilihan hidup sejati dan merealisasikannya.
Dalam benak saya muncul seorang pemandu bakat, yang bisa membaca kekuatan orang-orang yang dipandunya sehingga potensi orang-orang itu teraktualkan. Ia menempatkan dirinya dengan empati demi kepentingan orang-orang yang dipandunya dan mendorong mereka untuk mewujudkan visi sesuai dengan kualitas hidup yang bisa mereka gapai.
Gambaran gembala yang baik ini dikontraskan dengan orang upahan, yang bekerja karena dan demi upah, bukan in behalf of domba yang membutuhkan keselamatan. Upah tak perlu dipersempit sebagai uang: ucapan terima kasih, pertemanan, penerimaan, dukungan, perlindungan, dan sebagainya. Perawat bisa saja begitu care terhadap pasiennya, tetapi ia terpaksa melakukannya demi uang atau karena ia tertawan oleh keelokan pasiennya. Seorang presenter atau influencer memoles wajahnya tentu bukan karena supaya contentnya semakin berbobot, melainkan karena emboh. Seorang ibu semestinya bertindak di depan anaknya “In Behalf of U” daripada memaksakan kehendaknya sendiri. Anggota DPR, yang bergaya bicara on behalf of rakyat tapi tak bisa omong in behalf of rakyat, bisa getol rapat untuk meloloskan legislasinya di saat rakyat dan pemerintah sibuk dengan Covid-19.
Gembala yang baik menyodorkan visi kebaikan bagi kepentingan domba-combanya supaya dihidupi dombanya dalam kemerdekaan. Tentu saja Allah tahu apa yang baik bagi manusia tetapi Ia tidak memaksakannya. Empati Allah tak pernah jadi paksaan. Kalau umat sampai terpaksa, artinya ia punya false belief mengenai Allah, mengenai hidup.
Semoga semakin banyak pribadi yang dapat bertindak in behalf of kesejahteraan bersama dan on behalf of cinta Allah yang sesungguhnya. Amin.
SENIN PASKA IV A/2
4 Mei 2020
Posting 2017: Minta Dihargai Berapa?
Posting 2014: Keselamatan Itu Inklusif
Categories: Daily Reflection