Intimitas

Salah satu yang mengagumkan dari saudara-saudari Muslim saya ialah mereka hafal Alquran (6000an ayat) dan bisa mengaitkan hidup mereka dengan ayat-ayat suci itu. Tentu, tidak semua begitu, tetapi saya mau memakai hafalan dan amalan Sabda Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu sebagai gambaran intimitas relasi makhluk dan Khaliknya. Orang beriman ini mau mendengarkan, percaya, menghafalkan, dan mengamalkannya. Enam ribuan ayat, bukan perkara mudah untuk menghafalkannya, dan lebih sulit lagi mengamalkannya karena pasti akan ada tuntutan penafsiran seturut konteks hidup yang dihadapi.

Saya tidak bisa menghafalkan Kitab Suci saya karena ada sekitar tiga puluhan ribu ayat. Selain itu, yang lebih penting ialah bahwa kitab itu bukan Sabda Allah yang diturunkan kepada satu orang tertentu dengan satu bahasa tertentu. Sabda Allah dalam arti itu tidak terletak pada gulungan kitab yang diterjemahkan ke dalam aneka bahasa, tetapi pada sosok pribadi Guru dari Nazareth. Nah, perkara orang mau menerima atau menolaknya, itu adalah hak segala bangsa. Bangsa Yahudi dalam teks bacaan hari ini terbilang mereka yang menolaknya. Itu perlu dihargai sebagai suatu pilihan sikap.

Persoalannya ialah bagaimana pilihan sikap itu dibangun. Pesta cahaya yang dirayakan orang Yahudi pada saat itu tak mampu menghangatkan hati dan budi orang Yahudi yang penasaran dengan sosok Guru dari Nazareth. Hati dan budi mereka tetap dingin, dan hanya bisa menerima input hitam-putih, ya-tidak, benar-salah, dan seterusnya. Mereka tak bisa menjawab sendiri dengan data yang terhampar luas di hadapan mereka, yaitu apa yang dibuat Guru dari Nazareth itu. Mengapa? Karena tak ada relasi. Relasi dibutuhkan untuk mengenali atau memaknai misteri. Itu mengapa Guru dari Nazareth menanggapi keraguan akut mereka dengan pemakluman “tak kenal tak sayang”.

Thanks to the pandemic, sekarang ada momen massal untuk belajar mengenai “tak kenal tak sayang”, mengenai intimitas. Kiranya Anda sudah melihat tayangan video singkat mengenai seorang suami yang urat lehernya sampai terlihat jelas untuk menegaskan bahwa ia lebih taat pada hukum Allah dan tidak akan memindahkan istrinya dari bangku depan mobil yang dikemudikannya. Beliau lupa bahwa hukum Allah juga bisa meresapi aturan manusia yang beriman kepada Allah. Sayang, beliau tak belajar bahwa intimitas bukan perkara duduk di samping pak kusir.

Penerapan social distancing menyiratkan adanya pengakuan bahwa ada hal yang lebih utama daripada kedekatan fisik untuk membangun suatu intimitas, termasuk intimitas dengan Allah sendiri. Mari lihat bagaimana orang berpindah dari agama yang satu ke agama lainnya. Mari pertimbangkan seorang biarawan yang setelah puluhan tahun akhirnya copot jubah meninggalkan status jomblonya. Tak lupa, buaya darat (apa pun kelaminnya) yang gonta-ganti pasangan hidup. Ini adalah perkara orang gagal membangun intimitas baik dengan orang lain maupun dengan Tuhan, yang keduanya bermukim di tempat yang sama: diri sendiri. Artinya, orang tak punya intimitas dengan dirinya sendiri, tak krasan berhadapan dengan diri sendiri. Tanpa intimitas, orang senantiasa mengumbar apa yang bisa ditangkap dengan indra, juga dalam hidup keagamaan.

Tuhan, ajarilah kami menangkap hukum-Mu dalam setiap tata kelola hidup kami bersama. Amin.


SELASA PASKA IV
5 Mei 2020

Kis 11,19-26
Yoh 10,22-30

Posting 2018: Hold on for one more day
Posting 2017: Tangan Tuhan

Posting 2016: Bertindak Heroik

Posting 2015: Kristen atau Kriminal

Posting 2014: ID Card – ID Body