Sepertinya ada cara beragama kita yang salah. Ini sudah lama saya tengarai dari bagaimana media bikin berita berkenaan dengan agama dan bagaimana orang-orang beragama bereaksi. Kalau keadaan seperti ini dibiarkan, agama itu ambyar těnan. Yang bikin ambyar adalah keyakinan ideologisnya.
Ada figur publik internasional yang berpindah agama sehingga namanya pun ikut berubah dalam pemberitaan karena ia mengikuti kaidah-kaidah agama barunya. Setelah terungkap bahwa ia punya bisnis yang buruk, nama yang dipakai untuk pemberitaannya kembali ke nama lamanya. Saya tidak merasa ribet untuk memahami panggilan Didi dari nama baptis Dionisius, tetapi saya tidak ribet juga apakah Dionisius ini dimakamkan secara Katolik atau Islam dan kalau secara Islam, apakah dimakamkan seturut tata cara NU atau Muhammadiyah, dan seterusnya. Kematian pun jadi bisnis orang di dunia ini, bukan kepentingan Allah. Tentu klaimnya adalah ini demi hidup akhirat, tetapi justru itulah yang jadi bagian dari keyakinan ideologis.
Ada tendensi sense of belonging sebagai fenomena sosial yang wajar. Setiap orang punya ikatan primordial berkenaan dengan apa yang disebut SARA. Problemnya bukan sense of belongingnya, melainkan pada sempitnya sense of belonging itu. Orang beragama mengklaim bahwa Allah mahabesar, tetapi kebesaran-Nya dibatasi ideologi manusia. Orang beragama menggembar-gemborkan cinta Allah, tetapi yang dihayatinya cuma cinta eksklusif perkara relasi suami-istri atau hubungan darah, suku, atau agama. Orang beragama yang demikian ini yang bikin agama ambyar těnan.
Supaya tidak ambyar, orang beragama perlu membangun kerohanian dengan memperluas sense of belongingnya. Ini sama sekali tidak berarti bahwa Anda ke gereja hari Jumat dan ke mesjid hari Minggu dan hari-hari lainnya ke kelenteng dan seterusnya. Itu jadi praktik sinkretisme yang tidak menjamin kedalaman dan keluasan sense of belonging. Memperluas sense of belonging berarti memperluas cakrawala hidup, termasuk cakrawala agama, dengan titik pusatnya pada Allah sendiri dengan pengakuan bersahaja bahwa tak satu agama pun bisa memonopoli Kebenaran Allah. Dibutuhkan sensitivitas kerohanian terhadap kenyataan agama lain.
Teks bacaaan kedua hari ini, misalnya, membuat distingsi yang jelas sehingga pembacanya mengerti bahwa tujuan akhir tatapan manusia tetaplah Allah yang, dalam keyakinan Kristiani, mengutus Yesus Kristus. Kalau orang percaya pada utusan Allah, sebenarnya poin pentingnya ialah bahwa ia percaya kepada Allah yang mengirim utusan-Nya itu. Perkara utusan itu apa, siapa, bagaimana, atau kapannya mestilah relatif terhadap pengutusnya, bukan? Kalau Yesus pernah mewanti-wanti supaya orang waspada terhadap nabi palsu, bukankah itu berarti ia sendiri mengantisipasi datangnya nabi-nabi lain?
Teks bacaan pertama menunjukkan adanya orang yang menjalankan fungsi kenabian. Kenabian tak bisa diklaim secara ideologis sebagai karakter eksklusif orang tertentu. Suka-sukanya Roh Allah saja mau mengutus siapa! Problem tidak ada pada Allah, tapi pada orang yang mesti waspada terhadap nabi (dan agama) palsu: yaitu yang menyodorkan diri sendiri sebagai muaranya. Pada gilirannya, pengikutnya menganut narsisisme: cari selamat sendiri, memuliakan agama sendiri, bikin aturan sendiri. Ini bikin hidup jadi ambyar těnan dan memang tak mudah berpikir bersama yang berbeda.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk memahami kehendak-Mu juga dari sudut-sudut yang belum pernah kami temui sebelumnya. Amin.
RABU PASKA IV
6 Mei 2020
Posting 2019: Belum Legowo Juga?
Posting 2017: Menghakimi Hakim
Posting 2016: Asal [Bukan] Ahok
Posting 2015: Mau Jadi Eksekutor?
Categories: Daily Reflection