Kepada bangsa ini, dan mungkin juga kepada dunia internasional, baru saja ditunjukkan drama pengadilan yang mungkin pengadilnya perlu diadili juga: kalau suara Jaksa Penuntut Umum diabaikan, njuk suara siapa yang didengarkannya ya? Kenapa juga angka dua, kenapa gak lima sekalian? Mosok hanya karena kasihan dan bukannya keadilan? Politik oh politik, wis sakkarepmu deh! Hahaha…. bukan frustrasi, tetapi memang begitulah dagelan politik kita, yang malah jadi runyam kalau dihakimi dengan pengadil yang emosional (dan nota bene emosional tidak identik dengan ledakan amarah, tetapi juga tangisan lebay).
Yang bisa menghakimi hakim adalah suara hatinya sendiri. Pada saat dia menghakimi orang lain, keputusannya memang bisa dievaluasi oleh berbagai pihak, entah yang bersorak senang atau yang terdiam sedih, tetapi evaluasi ini datang kemudian. Suara hati hakim sendiri sudah ada di sana sebelum hakim mengambil keputusan, saat dia mengambil keputusan, dan sesudah dia mengambil keputusan. Maka dari itu, bahkan sebelum ada evaluasi dari luar, sebenarnya dengan keputusan yang diambilnya, seorang hakim itu ya menghakimi dirinya sendiri.
Begitulah yang disampaikan dalam teks hari ini: Barang siapa mendengar perkataanku, tetapi tidak melakukannya, aku tidak menjadi hakimnya, sebab aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Begitu kira-kira yang dikatakan Yesus. Masih ingat ilustrasi kapten kapal perang Amerika itu, bukan? [Kalau lupa dan mau membacanya, kliknya tuh di sini] Yang menghakimi dia bukan petugas mercusuar, melainkan kepercayaannya terhadap kebenaran. Yang menyelamatkan dia bukan kekuatan armada perangnya, melainkan keputusannya untuk mengikuti kebenaran yang dipercayainya itu.
Maka dari itu, bahkan teks yang disodorkan hari ini tak perlu ditangkap secara eksklusif sebagai wacana mengenai Yesus yang jadi hakim kelak setelah kiamat. Dia datang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan. Artinya, Kebenaran yang disodorkannya diharapkan merasuki hati nurani setiap orang dan pilihan orang untuk sinkron dengan hati nurani itulah yang menghakimi dan menghukumnya atau menyelamatkannya, yang lain-lainnya itu cuma bumbu politik aja, betapapun sebagian tak nikmat bagi yang memakannya. Akan tetapi, nikmat tak nikmat itu soal selera juga. Yang penting bukan nikmat bumbu politik itu, melainkan nikmat menaati hati nurani, karena nikmat inilah yang menyelamatkan jiwa orang.
Bayangkanlah orang-orang fanatik yang begitu demen sama appearance: jubah, mantilla, topi, baju putih bersih, dan sebagainya. Apakah jubah dan lain-lain itu yang menyelamatkan? Pasti bukan! Yang menyelamatkan adalah sinkronisasi penampilan itu dengan yang ada di kedalaman diri orang, yaitu suara hatinya, hati nuraninya. Kalau tidak, bahkan meskipun tampilannya luar biasa suci atau argumentasinya logis selogis-logisnya, orang ini sudah menghakimi dirinya sendiri sebagai pelanggar keadilan Allah yang tertera dalam batinnya.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami semakin peka terhadap suara batin kami sendiri. Amin.
RABU PASKA IV
10 Mei 2017
Posting Tahun 2016: Asal [Bukan] Ahok
Posting Tahun 2015: Mau Jadi Eksekutor?
Categories: Daily Reflection
nuwun sewu
melihat drama pengadilan bangsa ini.. seolah bangsa ini di gariskan mnjadi bngsa yg hnya muter2.. dulu sekali devide et impera sukses.. setelah merdeka pmbrontakan dimana2 .. orde pmbangunan meninggalkan utang dn planggaran HAM.. reformasi skrg yaa ..sperti ini.. dari sejarah bnyak bngsa lain yg mempunyai nasib sama muter2 atau lebih buruk sampai skarang.. bagi saya yg tidak paham filsafat atau teologi seolah hnya bisa brtanya .. apakah atheis/ agnostik jadi jawabnya?? apakah Tuhan mencipta mereka utk menderita spanjang zaman?? ( sya jga membaca link kapten amerika) terimakasih bila romo berkenan meluruskan pndapat sya yg mungkin salah. salam.
LikeLike
Halo Om, saya tidak melihat apa yang ditawarkan atheisme dan agnostisisme tidak ditawarkan agama. Maksud saya, kalau yang ditawarkan mereka adalah moralitas, bukankah agama juga menawarkan moralitas? Itu catatan pertama saya. Yang kedua, saya juga tidak melihat bahwa biang pelanggaran HAM dll itu adalah agama. Justru sebaliknya, itu adalah tindakan orang atheis dan agnostik yang meminjam topeng agama sehingga bisa diterima oleh lebih banyak orang lagi yang ‘bodoh’ dan cuma bisa memakai topeng agama itu. Memang ada orang atheis atau agnostik yang baik (yang saya kira adalah sosok-sosok individualistik, yang memahami bahwa kenyataan sosial ini hanyalah penjumlahan orang baik: orang baik plus orang baik jadilah masyarakat baik! Maka yang penting jadi orang baik saja – lha dari mana kriteria baiknya itu ya), tetapi seperti orang beragama, tak sedikit juga orang atheis atau agnostik yang tidak baik: yaitu mereka yang mengenakan topeng agama itu (itu yang biasa disebut ateis praktis).
Jadi, saya percaya, Tuhan menciptakan dunia ini untuk kebaikan, pun kalau ternyata dunia ini kacau. Justru lewat orang-orang yang percaya kepada-Nya, Dia hendak senantiasa mentransformasi yang kacau itu jadi kebaikan. Maka, problemnya bukanlah beragama atau tidak, melainkan apakah orang konsisten dan punya komitmen dengan maksud penciptaan Allah (atheisme tak punya paham penciptaan). Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan.
LikeLike
terimakasih rama.. saya paham.. walaupun sya terkesan dgn lagunya jhon lenon (imagine).. sya tetap percaya Tuhan itu ada dan mahabaik.
LikeLike