Berdamai dengan Korona

Anda bisa dapati Jalan Pius, Paulus, Yohanes, Petrus, Yerusalem, dan seterusnya, tetapi mengapa tak ada Jalan Yesus Kristus ya? Apakah sosok ini dianggap kurang berjasa? Begitu juga dengan tokoh sentral agama lain: kenapa tidak dihormati sebagai nama jalan? Kiranya bukan karena tak berjasa bagi kehidupan, melainkan karena mereka adalah Sang Jalan, yang tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri seakan-akan mereka ada di lokasi nomor rumah atau blok agama tertentu. Apa konsekuensinya jika mereka adalah Sang Jalan?

Saya mulai dengan dugaan bahwa Anda punya kesalahpahaman terhadap teks bacaan hari ini. Sebetulnya ini proyeksi saya, karena saya sendiri dulu ya salah paham🤭. Mari lihat ayat dua yang berbunyi “Di rumah Bapaku banyak tempat tinggal…. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”
Apa yang muncul dalam benak Anda ketika membaca kalimat itu, mengenai “Rumah Bapaku” dan “tempat bagimu”?
Ketika kebodohan saya belum terbongkar, saya memikirkannya sebagai surga yang kelak disiapkannya untuk mereka yang percaya kepadanya! Begitulah kalau orang bodoh beragama: balapan cari kavling surga untuk diri sendiri alih-alih untuk semua orang!

Akan tetapi, Guru dari Nazareth tidak sedang membahas surga. Ini wacana perjamuan terakhir yang menyinggung soal rumah Bapanya sebagai Bait Allah, dan nota bene Bait Allah itu bukan lagi bangunan fisik. [Bukankah dia pernah singgung soal merombak Bait Allah dan membangunnya dalam tiga hari?] Ini adalah antisipasi terhadap jalan yang ditempuhnya. Maka, kalau dibilang dia pergi menyiapkan tempat, artinya dia pergi mendahului murid-muridnya. Ke mana? Bukan tempat lagi yang ditunjuk, melainkan way of life tertentu: mendonasikan hidupnya bagi yang lain supaya yang lain pun bisa ikut donor. Siapa yang bisa ikut? Siapa pun yang percaya bahwa hidup ini adalah donasi Allah kepada manusia. Begitulah, Guru dari Nazareth adalah Sang Jalan, bukan salah satu jalan dari banyak jalan menuju Roma!

Akan tetapi, menjadi Sang Jalan bukan perkara enteng. Nasihat yang disampaikan Guru dari Nazareth, saya duga, sebetulnya tak lain berangkat dari pengalamannya sendiri di awal prosesnya menjadi Sang Jalan. “Janganlah gelisah hatimu.” Kata kerja yang dipakai di situ ialah ταράσσω (tarassó, Yunani); artinya dalam kamus: properly, put in motion (to agitate back-and-forth, shake to-and-fro); (figuratively) to set in motion what needs to remain still (at ease); to “trouble” (“agitate”), causing inner perplexity (emotional agitation) from getting too stirred up inside (“upset”). Guru dari Nazareth sendiri mengalami kegelisahan itu, tetapi mengatasinya justru dengan menasihati para murid (yang berlaku bagi dirinya sendiri): jangan takut sampai mesti kehilangan grěgět, animo, krěntěg, dan sejenisnya.

Karena itu, the new normal life bisa terjadi ketika orang berdamai dengan korona dalam memupuk animo bukan untuk memindahkan yang offline jadi online (dan ujung-ujungnya sibuk dengan pageviews, atau subscribers, atau imprimatur, atau overload tugas online), melainkan memindahkan Sang Jalan itu jadi offline. Di kota tinggal saya ini muncul gerakan membagikan secara cuma-cuma puluhan ribu bibit singkong untuk ditanam. Maksud baiknya: swadaya ketahanan pangan. Bukankah ini manifestasi Sang Jalan juga?

Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya pujian kami kepada-Mu sungguh berpihak pada hidup kemanusiaan yang senantiasa baru. Amin…


MINGGU PASKA V A/2
10 Mei 2020

Kis 6,1-7
1Ptr 2,4-9
Yoh 14,1-12

Posting 2017: Nyalakan Harapan
Posting 2014: Kepastian Iman?