Gratifikasi untuk Allah

Anda sudah tahu bagaimana nasib cinta yang dibangun atas dasar kata-kata semata: ambyar. Lucunya, seperti sudah diulas dalam posting Ambyar Sells beberapa hari lalu, keambyaran itu justru bisa lebih menarik orang banyak karena orang sudah tuman bin ketagihan terhadap yang ambyar-ambyar begitu. Ini bukan perkara narkoba semata, melainkan juga bahkan perkara rohani, justru karena ketagihan itu merangkul baik yang mental maupun yang fisik. Cobalah tengok cerita bacaan pertama hari ini. Paulus dan Barnabas melakukan pengamatan di tengah-tengah bangsa Yunani yang berkeyakinan politeis. Mereka mulai berkhotbah soal paham monoteisme yang dihidupi Guru dari Nazareth.

Di tengah pewartaan itu, Paulus melihat adanya kemungkinan seorang yang sakit disembuhkan, dan semestinya penyembuhan itu jadi salah satu penyokong pewartaan mereka. Kenyataannya? Orang-orang itu terpukau atas penyembuhannya, tetapi tidak melihatnya sebagai penyokong pewartaan Paulus dan Barnabas; mereka malah melihat keduanya sebagai titisan dewa-dewa yang mereka percayai. Paulus mereka anggap sebagai dewa Hermes (mungkin karena Paulus banyak bicara), sedangkan Barnabas mereka yakini sebagai Zeus. Dengan kata lain, orang banyak itu melihat pribadi Paulus dan Barnabas bukan dalam pemahaman akan apa yang mereka wartakan, melainkan dalam perspektif keyakinan mereka sendiri. Tanggapannya pun satu paket dengan perspektif religius mereka: mereka memberi gratifikasi lembu jantan, rangkaian bunga untuk kurban persembahan kepada dua rasul itu.

Dikatakan bahwa kedua rasul itu hampir-hampir tak bisa mencegah orang banyak mempersembahkan kurban kepada mereka. Artinya, mereka sangat bersusah payah untuk membuat orang banyak itu sungguh memahami kebaruan hidup yang baru saja mereka wartakan. Wajarlah, karena mengubah paradigma bukan jobdes utama kata-kata, karena menularkan cinta bukan tujuan propaganda. Kata Santa Teresa dari Kalkuta, cinta tak hidup dari kata-kata pun tak terjelaskan dengan kata-kata. Saya kira maksudnya bukan bahwa kata-kata tak berguna, melainkan bahwa kata-kata (manusia) punya batas yang hanya bisa dilampaui oleh tindakan (cinta sendiri).

Apakah pengalaman Paulus-Barnabas itu unik? Tidak. Tendensi itu berlaku umum: kalau orang mengalami euforia, ia bisa galfok, melihat artisnya daripada pesan yang dibawanya, melihat pernik bangunannya daripada alasan mengapa bangunan itu ada, terpukau pada bentuk daripada isinya, melihat jari telunjuk daripada bulan yang ditunjuknya. Saya tidak mengatakan bahwa artis, bangunan, bentuk, jari telunjuk itu tidak penting, tetapi kepentingannya kerap melanggar batas suci. Akibatnya, orang susah bergerak ke depan membangun visi dan hanya ke belakang melihat tradisi.

Teks bacaan kedua paralel dengan kata-kata Santa Teresa tadi: kalau orang mau sungguh mencintai Allah, tidak ada jalan selain merealisasikan kehendak-Nya. Wajarlah bahwa kehendak Allah bisa ditafsirkan macam-macam seperti dialami Paulus-Barnabas. Yang penting, penafsiran itu selalu terbuka pada perspektif lain sampai pesannya berterima bagi semua sebagai jalan untuk semakin masuk dalam misteri ilahi. Allah tak butuh gratifikasi, baik online maupun offline, entah lewat liturgi atau diskusi kitab suci, tetapi butuh realisasi kehendak cinta-Nya. Itulah pekerjaan rumah setiap orang beriman, Anda dan saya, hic et nunc, di sini dan sekarang ini: small acts of justice.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan-Mu supaya kami bertekun dalam mendengarkan dan melaksanakan kehendak-Mu. Amin.


SENIN PASKA V
11 Mei 2020

Kis 14,5-18
Yoh 14,21-26

Posting 2019: Beneran Cinta?
Posting 2018: Best way to find love

Posting 2017: Sendiri, Siapa Takut?

Posting 2015: Listening to The Spirit

Posting 2014: Yesus Jadi Berhala